|
Podium |
Skizofrenia dan Relasi Sosial Penderita Ketidakpahaman masyarakat tentang skizofrenia mengakibatkan keterkucilan penderitanya. Sampai saat ini, penyakit kejiwaan dapat disebabkan tiga hal. Pertama, kerawanan otak yang dialami sejak lahir, yang mempunyai bakat potensial untuk terjadinya penyakit jiwa. Kedua, gangguan psikis yang rawan pada lingkungan dini dan sepanjang kehidupan, serta stresosor social (tekanan sosial) dari lingkungan tempat individu tersebut hidup. Penyakit jiwa digolongkan menjadi penyakit jiwa berat (psikosis) dan ringan (neurosis). Psikosis ditandai dengan gejala yang tidak realistis. Semisal, penderita mengatakan ada kambing yang bisa terbang. Hal ini menunjukkan dalam diri pasien realitas dan logikanya terputus. Selanjutnya ditandai adanya waham (anggapan terhadap diri sendiri) dan halusinasi. Pasien yang terkena waham selalu mengidentifikasikan dirinya dengan yang lain. Misalnya, menganggap dirinya raja. Halusinansi menunjukkan penyakit jiwa berat. Selalu merasa dibisiki atau sedang melihat sesuatu padahal orang di sekitarnya tidak mengalaminya. Gangguan afek (perasaan hati) yang datar atau acuh tak acuh kemudian bisa melambung seperti selalu gembira, tertawa sendiri. Bisa juga afek menurun seperti merasa sedih sekali dan ingin bunuh diri juga menjadi gejala-gejala psikosis. Orang yang menderita psikosis mempunyai hubungan sosial yang abnormal. Artinya, ia tidak mampu lagi melakukan aktivitas kesehariannya. Sedangkan neurosis tidak mengalami waham atau halusinansi. Hanya, penderita neurosis ini juga mengalami gangguan afek seperti selalu cemas dan depresi. Gangguan fungsi sosial penderita neurosis masih ringan. Ia masih bisa menjalani aktivitasnya sehari-hari. Salah satu penyakit jiwa yang dinilai paling berat adalah skizofrenia. Bleuler, ahli penyakit jiwa, mengatakan skizofrenia berarti kepribadian yang terbelah. Bleuler adalah orang pertama yang memperhatikan isi pikiran, jalan pikiran, dan insting-insting penderita. Menurutnya, halusinasi dan waham penderita biasanya memiliki hubungan erat dengan riwayat, harapan, dan ketakutan penderita. Hubungan penderita dengan lingkungan sekitarnya seperti orang tua, saudara-saudara dalam permulaan masa hidup kerap menjadi faktor yang memunculkan halusinasi dan waham. Dalam dunia medis, skizofrenia dinilai memiliki gejala-gejala positif dan negatif. Waham dan halusinasi merupakan dua gejala positif skizofrenia. Sementara, gejala negatifnya adalah afek datar dan hilangnya motivasi yang terselubungi oleh gejala-gejala positif. Afek datar ini membuat penderita seolah-olah berada jauh dari masyarakat. Roman muka penderita biasanya tanpa mimik. Pada umumnya, penderita skizofrenia dibawa ke rumah sakit jiwa dengan gejala negatif yang menempel dalam gejala positif. Hal ini menyangkut pertimbangan medis bahwa gejala negatif baru bisa disembuhkan apabila gejala positif sudah tertangani. Secara medis ada beberapa jenis skizofrenia. Pertama, skizofrenia jenis hebefrenik dengan gejala seperti pembicaraan yang kacau, yang kata-katanya tidak ada hubungannya satu sama lain sehingga sulit dimengerti maksudnya. Hebefrenik juga ditandai dengan perilaku penderita yang aneh, umpamanya cekikikan sendiri, menyeringai tanpa sebab, dan kerap menunjukkan gerakan-gerakan aneh tanpa bertujuan. Kedua, skizofrenia jenis katatonik yang ditandai dengan posisi badan, tangan dan kaki pasien yang selalu diam layaknya patung. Ketiga, skizofrenia jenis paranoid yang khas dengan gejala munculnya waham dan halusinasi. Jenis paranoid ini selalu membuat penderita merasa dikejar-kejar dan cemas tak menentu. Atau, sering diliputi perasaan cemburu. Pada umumnya, penderita skizofrenia mempunyai stigma buruk di masyarakat. Mereka disamaratakan dengan orang gila. Tak jarang, tindakan-tindakan yang diambil keluarga penderita malah memperparah penderitaan penderita skizofrenia. Selama ini, pembahasan skizofrenia cenderung dilakukan dari aspek negatif, pesimistik, dan sering memvonis bahwa masih kuatnya stigma buruk skizofrenia di masyarakat. “Masyarakat belum tahu skizofrenia itu seperti apa. Mereka tahunya hanya gila. Masyarakat masih men-cap bahwa penderita skizofrenia belum bisa hidup bermasyarakat,” tutur Dra. Yayi Suryo Prabandari, M.Si, psikolog klinis yang menjadi salah satu pembicara dalam simposium bertema “Blietzkrieg Therapy Melawan 1.000 Schizophrenia dengan Variasinya” Simposium yang diadakan Rumah Sakit Khusus Puri Nirmala Jogjakarta pada 24 Januari 2004 lalu ini juga membicarakan buruknya kehidupan penderita skizofrenia di masyarakat dapat disebabkan beberapa factor. Antara lain, masih kuatnya anggapan penderita skizofrenia merupakan jenis orang berbahaya, sehingga perlu dihindari. Untuk mencegah penderita skozofrenia melakukan tindakan-tindakan merugikan, langkah yang diambil seringkali berupa pemasungan. Hal ini banyak dilakukan keluarga yang memiliki anggota yang terkena skizofrenia. Alasan yang muncul semata-mata agar si penderita tak menjadi aib yang akan menurunkan derajat keluarganya. Perlakuan diskriminatif penderita skizofrenia pada hakikatnya justru menambah stressor psikososial-nya. Stressor inilah yang membuat keadaan penderita semakin kronik dan sulit disembuhkan. Selain itu, di masyarakat muncul pendapat skizofrenia dapat tertular lewat interaksi dengan penderita. Maka, ia pun dikucilkan. “Yang berbahaya jika penderita mempunyai waham curiga sehingga ia merasa dikejar-kejar dan dihantui. Hal ini membuat tiap orang dapat dianggap sebagai musuh penderita,” tukas Yayi, yang juga mengajar di fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Sementara, di Indonesia yang sebagian masyarakatnya masih percaya penyakit mental merupakan kutukan, hasil santet, atau hal mistis lain makin mengecilkan kemungkinan tercapainya kesembuhan penderita skizofrenia dari sisi medis. Kalaupun anggota masyarakat membawa penderita skizofrenia ke dokter, ada kecenderungan terjadi penghentian pemberian obat kepada penderita skizofrenia dengan alasan obat-obatan yang diberikan malah membuat penderita ketagihan. Padahal menurut pengobatan medis, penderita skozofrenia mesti diobati secara bertahap dan berkelanjutan. Artinya, dosis pemberian obat bagi penderita skizofrenia dilakukan secara bertahap dengan dosis yang semakin lama semakin menurun. Kalau penghentian pemberian obat terputus di tengah jalan, mau tidak mau pemberian obat harus dilakukan lagi dari awal. Ini berarti membuat biaya semakin membengkak. Selain unsur medis, faktor psikososial sangat berperan mempercepat kesembuhan penderita skizofrenia. Peran ini biasanya diserahkan pada keluarga penderita. Bimbingan bagi penderita selama menjalani perawatan medisnya tentu sangat berguna. Hal ini disebabkan karena keluarga mempunyai tekanan atau stressor yang sangat berarti bagi penderita. Pada umumnya, penderita gangguan jiwa sangat peka terhadap segala ucapan, baik langsung maupun tidak langsung. Bahkan, mereka juga sensitif terhadap bahasa non verbal seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh, dan cara bicara seseorang. Ketika kedekatan itu ada dalam keluarga, pengungkapan ekspresi yang berlebihan dari penderita lebih dapat diantisipasi karena keluarga memiliki kedekatan emosional dengan penderita. (Florensius Sinaga) |
© 2003 UPM PASTI
Universitas Atma Jaya Yogyakarta. |