- :; IPTEK ;: -

IPTEK

 

Vibrio fischeri, Si Pemantau Laut


Kini, tak perlu lagi bingung untuk mengetahui kesehatan lingkungan laut.


Sebanding dengan luasnya yang sepertiga luas bumi, potensi yang disimpan laut pun sama banyaknya. Baik potensi hayati maupun non hayati kini bisa dipetik manfaatnya. Potensi non hayati seperti minyak bumi pernah menjadi sumber devisa utama Indonesia. Sementara potensi hayati seperti rumput laut, ikan, serta berbagai tumbuhan laut kini telah dimanfaatkan secara luas dalam dunia medis maupun industri pangan.

 

Namun, satu hal yang tak terbayangkan, bahwa organisme yang bisa dimanfaatkan tak hanya yang tergolong makro saja tapi juga mikro. Fungsinya pun tak hanya sebatas sebagai sumber makanan maupun bahan baku industri, tetapi juga untuk lingkungan itu sendiri. Bakteri Vibrio fischeri contohnya, kini dapat dimanfaatkan sebagai indikator pencemaran lingkungan.

Pemanfaatannya berdasarkan pada kemampuan bakteri tersebut memproduksi cahaya. Adanya zat racun dapat dideteksi dari cahaya yang tampak. Semakin redup cahaya yang teremisikan, maka konsentrasi zat racun yang ada berarti semakin besar.

Vibrio fischeri tergolong dalam jenis gram positif heterotrof. Ia dimasukkan dalam golongan ini sebab struktur dinding selnya kaya peptidoglikan (senyawa yang membuat dinding sel kuat) dan ketidakmampuannya berfotosintesis. Secara taksonomi, ia tergolong dalam famili Vibrionaceae, yaitu famili besar yang meliputi bakteri yang bersifat kooperatif maupun patogen terhadap organisme lain.

Keberadaan Vibrio fischeri ini di lautan, terutama di daerah subtropis, sangat melimpah. Ia hidup secara saprofit, pada daerah tertentu yang kaya nutrien. Selain itu, ia pun juga bersimbiosis dengan organisme lain.

Beberapa organisme yang mampu bersimbiosis dengannya adalah ikan dari famili Monocentridae dan Cephalophoda (jenis siput-siputan) seperti Sepiola dan Euprymna. Namun, Vibrio fischeri ini paling sering bersimbiosis yang adalah dengan Euprymna Solopes, jenis cumi-cumi yang terdapat di perairan lautan Hawaii.

Bagi organisme inang, cahaya yang diproduksi Vibrio fischeri menjadi pelindung terhadap predatornya. Cahaya itu dapat menghilangkan bayangan tubuhnya yang tampak di bawah permukaan air. Sementara, Vibrio fischeri sendiri melalui simbiosis itu mendapatkan nutrisi dari inangnya.

Proses menempelnya Vibrio fischeri ini bisa dibilang unik. Mulanya, saat inang masih muda (juvenile), ia mengeluarkan senyawa mukoid di dekat tubuh inang. Senyawa ini mempermudah si bakteri mengenali pori- pori tubuh inang. Setelah itu, mikroorganisme ini memasuki pori-pori inangnya dan masuk ke lapisan yang lebih dalam dengan bantuan flagela yang dimilikinya.

Lebih menariknya, ketika Vibrio fischeri ini mulai menempel, inangnya mengeluarkan senyawa racun, yaitu peroksida (H­­2O2). Namun, si bakteri tetap saja menempel. Hal ini disebabkan karena si bakteri memiliki dengan enzim katalase. Dengan enzim tersebut, ia mengkatalisis zat racun tersebut menjadi senyawa lain yang tak berbahaya dan melepaskannya ke lingkungan.

Akibat masuknya Vibrio fischeri, beberapa sel inang mengalami kematian (apoptosis). Sehingga, tubuh mikroorganisme dan inang benar-benar menyatu. Setelah beberapa minggu, mikroorganisme akan kehilangan flagelanya. Ia mengalami pengecilan ukuran dan mulai mengemisikan cahaya. Emisi cahaya oleh mikroorganisme inilah yang menyebabkan bagian tertentu cumi-cumi tampak bercahaya. Hal ini sering disebut light organ.

Produksi cahaya yang terjadi ini melibatkan proses biokimia tertentu dengan bantuan enzim luciferase. Enzim ini memiliki dua sub unit, alpha dan beta. Substrat dari enzim ini adalah senyawa aldehida dan FMNH2. FMNH2 beroksidasi menjadi FMN. Aldehida kemudian beroksidasi menjadi asam lemak. Produk samping dari reaksi ini salah satunya adalah cahaya.

Ekspresi dari cahaya itu dikendalikan oleh gen-gen Vibrio fischeri, yakni luxA dan luxB. Gen-gen tersebut mengendalikan produksi enzim luciferace. Dalam tubuh bakteri ini dua gen tersebut diorganisir oleh sebuah operon, yakni sekelompok gen yang ekspresinya diatur oleh protein operator-regulator.

Operon tak hanya terdiri dari luxA dan luxB. Ia juga tersusun atas luxI, luxC, luxD, luxE dan luxG. LuxI berfungsi dalam mengendalikan pembentukan enzim yang bertanggung jawab membentuk senyawa sinyal, N-(3-oxyhexanol) Homoserine Lactone (AHL)

Untuk mengaktifkan luxA dan luxB, Vibrio fischeri menggunakan sebuah sistem yang disebut quorum sensing. Quorum sensing ini memungkinkan bakteri untuk berkoordinasi guna merespon perubahan kondisi lingkungan yang terjadi.

Senyawa sinyal yang dihasilkan LuxI tersebut kemudian disekresikan ke lingkungan. Pada populasi sel yang kecil, senyawa sinyal yang diproduksi pun juga sedikit. Hal ini menyebabkan senyawa tersebut tak mampu ditangkap oleh protein penangkap sinyal (LuxR). Oleh karena itu, populasi sel harus besar agar senyawa sinyal mampu diproduksi dan dapat ditangkap oleh LuxR.

Ketika LuxR mampu menangkap senyawa sinyal, ia bersama AHL akan membentuk suatu kompleks. Ia kemudian terikat pada suatu daerah di DNA yang disebut lux box. Terbentuknya kompleks inilah yang menyebabkan luxA dan luxB teraktifkan.

Vibrio fischeri dapat digunakan untuk memprediksi tingkat pencemaran yang terjadi. Adanya zat pencemar menyebabkan cahaya yang diproduksi makin redup. Senyawa racun tersebut akan menghambat pembentukan senyawa sinyal sehingga produksi cahaya pun terhamabat.

Untuk mengetahui tingkat toksisitas senyawa racun melalui Vibrio fischeri caranya cukup mudah. Masukkan saja suspensi Vibrio fischeri pada sample air yang ingin diuji. Tingkat toksisitas suatu senyawa dapat diukur dengan membandingkan tingkat cahaya yang diproduksi sesegera mungkin setelah suspensi ini dimasukkan dan 30 detik setelah pengukuran pertama. Indikator tingkat toksisitas senyawa racun dapat dilihat dari tingkat cahaya (luminescence) yang diproduksi Vibrio fischeri.

Toksisitas suatu senyawa dinyatakan dalam suatu indeks yang juga disebut indeks toksisitas (toxicity index). Jika nilai indeks lebih dari satu, menunjukkan bahwa tingkat toksisitas senyawa rendah. Hal ini berarti tingkat pencemaran air yang terjadi juga rendah.

Jika konsentrasi senyawa toksik terlalu rendah, Vibrio fischeri tidak dapat mengidentifikasikannya. Untuk menyiasati agar Vibrio fischeri tetap mampu menangkap sinyal rendah tersebut, dapat dilakukan modifikasi genetik.

Kini, untuk mendeteksi tingkat pencemaran air kita tak perlu bingung lagi karena alam sudah menyediakannya. Vibrio fischeri menjadi alternatif dalam memecahkan persoalan tersebut. Caranya sudah ada, tinggal penerapannya. (Yunanto Wiji Utomo)

Home Next Page Profile Saran dan Kritik Isi Buku Tamu