Rubrik kecil

Opini

Birokrasi Medis

Oleh: V. Sundari Handoko, M.Si.

Perkembangan rumah sakit – berdasarkan perkembangan rumah sakit di Barat -  telah mengalami evolusi sejalan dengan perkembangan riset dan teknologi tinggi di sektor medis. Perkembangan rumah sakit telah mengubah orientasinya dari religious orientation, poorhouse orientation, deathhouse orientation, ke technical orientation.  Rumah sakit yang semula sebagai tempat pengungkapan cinta kasih pada sesama (christian benevolence) atau charity telah bergeser ke  perspektif profit oriented, ditandai oleh perkembangan rumah sakit sebagai pusat teknologi medis (as centers of medical technology), serta munculnya fenomena dominasi medis yang berhubungan dengan meningkatnya pengetahuan medis.

Evolusi tersebut yang kemudian ikut mengubah cara pandang dan cara memaknai berkaitan dengan hilangnya fungsi-fungsi sosial fisik (the loss of bodily function) atau yang disebut dengan “sakit” dalam perspektif medis, dan hilangnya fungsi-fungsi sosial (the loss of socially function) dalam perspektif sosiologis. Cara pandang ini merubah juga struktur, perilaku hubungan kerja,  dan pengelolaan rumah sakit secara agregatif.

Perkembangan teknologi pengobatan beserta fasilitas-fasilitas yang disediakan birokrasi medis menjadi sangat  mahal biayanya.  Orientasi rumah sakit bukan lagi untuk menolong orang-orang miskin dengan konsep kasih sayang, tetapi orientasinya telah bergeser kepada kelas menengah ke atas yang mampu mengakses teknologi dan fasilitas-fasilitasnya dengan biaya yang mahal. Tak dapat dielakkan, perkembangan rumah sakit menjadi tergantung pada pendapatan pasien dan juga pada dokter-dokter yang dapat mengisi bed-bed/ tempat tidur rumah sakit.

Meskipun banyak rumah sakit menerapkan kebijakan “subsidi silang”, akan tetapi tidak semua orang sakit dari kelas ekonomi bawah mampu mengakses fasilitas-fasilitas dalam rumah sakit. Dalam rumah sakit swasta (khususnya), rasio bed-bed di bangsal ekonomi relatif lebih kecil dibandingkan dengan bangsal-bangsal kelas menengah ke atas. Kondisi ini pula yang menyebabkan rumah sakit negeri menjadi “berjubel” dan menyerupai “pasar” dibandingkan dengan rumah sakit swasta, karena tersedianya bed-bed untuk pasien ekonomi lemah relatif lebih banyak daripada rumah sakit swasta.

Sistem birokratis dari rumah sakit dengan demikian akan mengembangkan  hubungan dengan dasar rasionalitas instrumen (means-ends) untuk tujuan bussiness oriented. Hubungan-hubungan yang terjadi, baik antara birokrasi/administrasi, dokter, maupun pasien, telah dimuati kepentingan-kepentingan tertentu demi kemajuan birokrasi rumah sakit. Kepentingan-kepentingan tersebut antara lain kepentingan medis, kepentingan perawatan, kepentingan administrasi, kepentingan pemilik rumah sakit, kepentingan industri farmasi, dan sebagainya. Kepentingan itu sebenarnya menuju kepada tujuan yang sama, yaitu penyembuhan dan normalisasi peran pasien di dalam masyarakat. Akan tetapi, terjadinya pertemuan berbagai kepentingan ini akan memungkinkan adanya himpitan dan penekan, yang diakibatkan oleh timbulnya  konflik-konflik kepentingan  dalam birokrasi rumah sakit.

Birokrasi medis sendiri dalam penerapannya mempunyai  sistem kekuasaan ganda, yakni kekuasaan medis dan kekuasaan birokrasi/administrasi itu sendiri. Kekuasaan medis memberikan ruang gerak yang cukup dominan bagi dokter untuk membuat keputusan dan mengatur pekerjaan medis. Sedangkan kekuasaan yang muncul dari dalam birokrasi, lebih memihak kepada pemilik rumah sakit. Dalam hal ini, dokter hanya mengandalkan skill dalam pengobatan sehingga kekuasaan birokrasi/administrasi tidak hanya untuk memperoleh keteraturan dalam pekerjaan, tetapi juga memposisikan dokter sebagai subordinat bagi kekuasaan birokrasi/administrasi tersebut.

Pada sisi lain, situasi sakit menjadi kriteria untuk menunjukkan “ketidakwajaran” (deviance) dari situasi dan kondisi secara fisik maupun kejiwaan manusia serta counter productive dari kepentingan ekonomis. Akibatnya, pelayanan “jasa sehat”  merupakan prasyarat untuk pemulihan pada kondisi manusia yang wajar dan normal, baik secara sosial maupun ekonomi. Tarikan ini menjadi permintaan efektif atas pelayanan jasa sehat, yang menjadikan masyarakat menyerahkan otoritasnya pada institusi medis.

Hal ini bertolak belakang dengan “konsep sakit” bagi masyarakat primitif yang didefinisikan sebagai suatu kekuatan setan yang melawan manusia dan ada dalam tubuh mereka yang menyebabkan sakit atau kematian. Ataupun pada abad pertengahan, sakit didefinisikan sebagai hukuman atas dosa-dosanya, dan melayani orang sakit dianggap sebagai perwujudan ekspresi religiusitasnya. Tetapi sekarang, sakit dilihat sebagai suatu kondisi biologis yang tidak normal atau mengalami kekacauan mental. Mereka mendapatkan “hak atas pelayanan kesehatan”, karena sakit menjadi identik dengan kemiskinan (hasil dari counter productive), serta resiko-resiko lain sebagai konsekuensi sakit.

Respon masyarakat atas ketakutan-ketakutan mendapatkan label “sakit” yang “taken for granted”, menjadikan si sakit menyerahkan otoritasnya pada institusi medis secara penuh. Situasi ini menjadikan kekuatan/mekanisme hubungan medis dan pasien asimetris. Di samping itu, otoritas/kekuasaan medis atas pengetahuan (knowledge), teknologi, dan informasi yang menjadikan “pasar jasa sehat” tidak bebas dominasi dan monopolistik. 

Sementara itu, monopoli pengobatan dan pelayanan atas perawatan kesehatan telah diperluas tanpa sepengetahuan pengguna layanan dan melampaui kebebasan pengguna layanan atas perawatan tubuh mereka sendiri. Sehingga sadar atau tidak, masyarakat telah menyerahkan kepada dokter hak-hak istimewa untuk menentukan apa yang menyebabkan penyakit, siapa  yang mungkin sakit, dan apa yang harus dilakukan orang-orang tersebut.

Konsekuensinya. menurut Ivan Illich, kehidupan modern telah dikontrol oleh birokrasi medis, sehingga justru dari dialah penyakit muncul. Penyakit-penyakit tersebut adalah ; pertama, “clinical iatrogenic”, yaitu penyakit biologis yang harus dibuktikan secara klinis, dimana dokter mempunyai peran untuk menyembuhkan. Kedua, “social iatrogenic”, yaitu kondisi masyarakat yang kecanduan perlakuan medis dalam rangka menyelesaikan problem kesehatannya. Ketiga, “structural iatrogenic”, destruksi otonomi pasien di hadapan para medis atau semakin meningkatnya kontrol dokter terhadap pasien yang disertai dengan menurunnya otonomi pasien terhadap dokter (1976). Dari sinilah sebetulnya ketidakberdayaan pasien itu muncul.

Ketidakberdayaan pasien itu sendiri, selain karena faktor eksternal seperti diungkapkan Illich diatas, juga tidak berdaya karena faktor intern. Faktor intern yang mempengaruhi ketidakberdayaan pasien berkaitan dengan pengalaman subyektif pasien tentang keadaan sakit dan ketergantungan pada orang lain. Berdasarkan pengalaman subyektif pasien, maka sebagian besar laporan tentang depersonalisasi pasien karena mereka hanya diperlakukan sebagai obyek atau barang (people as things).  Perlakuan sebagai obyek atau barang tersebut menyebabkan pasien berstatus tanpa pribadi dan pasien terasing (people as isolates) dari lingkungannya. Kondisi pasien yang direndahkan menjadi berstatus tanpa pribadi (impersonal) di rumah sakit melalui beberapa cara, seperti penggantian pakaian, pengendalian hak milik, dan pembatasan ruang gerak.

Ketidakberdayaan pasien yang muncul dari faktor ekstern lebih menekankan pada dimensi-dimensi struktural daripada sebab-sebab psikologis (intern).  Dimensi-dimensi psikologis dan struktural inilah yang menarik untuk mendapatkan perhatian. Konsep ketidakberdayaan pasien karena dimensi-dimensi struktural berkaitan dengan ketidakmampuan pasien melakukan pilihan-pilihan (people without options) dalam birokrasi rumah sakit. Kehadiran pasien dalam rumah sakit dihancurkan oleh kekuasaan hirarkis yang sering sewenang-wenang dalam penerapannya, sehingga memunculkan ketidakmampuan pasien untuk melakukan pilihan-pilihan karena kelembaman birokrasi yang memfrustasikan usaha-usaha untuk mengubah norma dan nilai-nilai perilaku dalam rumah sakit. Sehingga, bisa dikatakan bahwa munculnya ketidakberdayaan pasien menjadi sangat sophisticated karena berkaitan dengan berbagai hal yang saling tumpang-tindih, antara faktor internal dan eksternal dari pasien.

 * Staf Pengajar Jurusan Sosiologi, FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta

 << Back                                                                                                Next >>

© 2003 UPM PASTI Universitas Atma Jaya Yogyakarta.