Pemerataan kesehatan bukan sekedar pemenuhan fasilitas fisik.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah dicapai di bidang
kesehatan modern memunculkan standar-standar bagi kesehatan. Berawal
dari perkembangan tersebut, muncul indikator-indikator seperti angka
kematian bayi, angka kematian ibu, serta angka kecukupan gizi.
Indikator-indikator ini yang kemudian digunakan banyak negara untuk
meningkatkan derajad kesehatan masyarakatnya.
Indonesia pun sebagai negara berkembang, turut serta dalam pengejaran
standar itu. Sayangnya, pembangunan yang terjadi hanya untuk mengejar
image.
Pemerataan bidang kesehatan bukan dimaknai secara luas, namun hanya
diintepretasikan secara parsial. Akibatnya pemerataan yang terjadi hanya
sebatas pembangunan sarana-sarana fisik. Ini terlihat dari banyaknya
puskesmas yang berdiri, namun tak terkelola dengan baik karena
keterbatasan tenaga medis. Akhirnya, masyarakat pun masih tak
mendapatkan pelayanan kesehatan secara optimal.
Tatkala persoalan dasar kesehatan masyarakat, yakni terpenuhinya
basic need
(sandang, pangan, papan) belum terjawab dan pemerataan pembangunan belum
terpenuhi, pemerintah melakukan kerja sama dengan swasta dengan harapan
pemenuhan fasilitas kesehatan masyarakat mampu terjawab. Untuk itu,
melalui SK no.2 tahun 1979, pembagian peran dengan swasta dalam
penyedian fasilitas rumah sakit mulai dilakukan. SK itu mewajibkan
rumah sakit-rumah sakit tersebut dapat memenuhi persyaratan perundangan
yang berlaku. Misalnya saja Undang-Undang Pokok Kesehatan nomor 9 tahun
1960. Kebebasan swasta untuk berkiprah pada dunia kesehatan, memacu
tumbuhnya sektor-sektor industri kesehatan yang kompleks. Semisal
medical center, praktek dokter bersama, perusahaan obat swasta serta
rumah sakit swasta.
Sayangnya, dengan kebijakan ini pun masalah pemerataan tetap tak
terjawab. Patahnya konsep pembagian peran itu terlihat dari tidak
meratanya pembangunan di tiap daerah. Akibatnya, pembangunan yang
dilakukan swasta pun masih terpusat di titik-titik yang pendapatan
masyarakatnya relatif lebih tinggi. Dengan prinsip ekonomi yang
dipegangnya, swasta menginginkan pengembalian modal dan perolehan
keuntungan dari modal yang telah dikeluarkannya. Namun, pengembalian
modal dan perolehan keuntungan ini menjadi utopia saja mengingat masih
rendahnya pendapatan rata-rata daerah.
Makin rumit lagi ketika masalah pemerataan ini belum selesai muncul pula
kebijakan otonomi daerah. Otonomi ini pun terjadi dalam kesehatan.
Harapan awalnya, dengan otonomi kebijakan–kebijakan yang menyangkut
pembangunan kesehatan daerah dapat dilakukan secara cepat sesuai
kebutuhan lokalitas. Misalnya, pengadaan dokter di rumah sakit
pemerintah atau puskesmas.
Namun, kenyataannya masih banyak daerah yang tidak siap mengikuti
kebijakan ini. Minimnya sumber daya yang tersedia akibat pembangunan
sentralistik dimasa lalu justru mendorong terjadinya arogansi daerah di
berbagai bidang, termasuk kesehatan. Misalnya soal kebijakan penetapan
tarif yang lebih tinggi guna mengisi kas daerah. Lihat saja dengan
kebijakan tarif Puskesmas yang terjadi di Kabupaten Sleman DIY yang
semula Rp. 600, 00 menjadi Rp. 6000,00.
Dalam mengatasi pemerataan tenaga medis pun pemerintah sebenarnya telah
melakukan beberapa upaya, misalnya saja dengan program Wajib Kerja
Sarjana (WKS). Namun, hal ini tetap belum menjawab persoalan. Bagiamana
tidak, pemberlakuan kebijakan itu tak disertai dengan pemberian jaminan
memadai bagi dokter dan fasilitas-fasilitas yang mendukung. Akibatnya,
dokter tetap terkonsentrasi di kota. “Pembangunan fasilitas hanya
dilakukan di daerah-daerah tertentu, sementara di daerah lain
fasilitasnya tidak merata, tetapi dokter dipaksa merata,” ungkap dr.
Masyur Romi, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Yogyakarta.
Saat ikatan kontrak kerja semacam WKS belum mampu menjawab pemerataan,
dalam perjalanannya justru muncul konsep Pegawai Tidak Tetap (PTT). Beda
PTT dengan WKS ini terletak pada statusnya, yang semula pegawai negeri
sipil, kini bukan. Jaminan tersebarnya tenaga medis di daerah pun
semakin terbengkalai. Masalahnya sama saja setelah itu, para dokter
tetap terpusat. “PTT ini sebenarnya sebenarnya cuma solusi sementara,
agar pemerintah tidak terbebani dalam menggaji dokter,” ungkap dr.
Mubasyir Hasanbasri, MA,
Staff Pengajar Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada.
Makin ironis ketika sumber daya medis yang ada terpusat, muncul
masalah-masalah baru dalam wajah kesehatan. Banyaknya sektor layanan
swasta semacam rumah sakit dan konsentrasi tenaga medis yang tak
diimbangi adanya pengawasan dan kontrol yang jelas mendorong munculnya
praktek-praktek monopoli yang berimbas pada diskriminasi pelayanan.
Dalam monopoli kesehatan yang terwujud lewat berbagai diversifikasi
pelayanan ini, masyarakat ekonomi kecil tak memiliki kebebasan dan
jaminan memadai untuk mengakses kesehatan. Hal ini terlihat dari
tajamnya perbedaan jumlah bangsal masyarakat kurang mampu dengan jumlah
bangsal masyarakat menengah atas di rumah sakit.
Untuk mengatasi masalah pemerataan akses ini pemerintah pun sebenarnya
telah bertindak. Misalnya dengan pemberian jaminan bagi masyarakat
miskin seperti pengadaan asuransi-asuransi sosial seperti Jaringan
Pengaman Kesehatan Masyarakat (JPKM). Repotnya pemberian jaminan pun
bermasalah. Orientasi ekonomi yang begitu mengental ketika kesehatan
telah menjadi industri berdampak pada perilaku-perilaku yang
diskriminatif pada pengguna askes. “Untuk masyarakat yang memakai askes
itu birokrasinya sangat susah dan berbelit-belit. Ada sekian
diskriminasi yang terjadi jika pelayanan itu sifatnya gratis,” ungkap
Taufiqurahman, Ketua Koalisi Untuk Yogyakarta Sehat. Sementara itu,
besarnya jaminan yang di berikan pun sangat terbatas, hanya untuk
kesehatan dasar. Artinya untuk kondisi kritis yang memerlukan perawatan
lebih, masyarakat bawah ini tak dilayani. Hal ini disebabkan karena dana
yang disediakan oleh pemerintah pun sangat terbatas.
Masih banyak tugas yang mesti diselesaikan dalam mewujudkan pemerataan
fasilitas layanan kesehatan ini. Hal ini misalnya saja dapat dilakukan
dengan memberikan kemudahan birokrasi dan insentif bagi swasta yang
berkarya di daerah. Namun perlu kebijakan yang mengatur dan mengawasi
mengingat karakteristik swasta ini dikelola juga dengan prinsip-prinsip
ekonomi. Pemerintah dalam hal ini dapat bertugas sebagai regulator,
menjembatani swasta yang mencari keuntungan dengan masyarakat yang
berpendapatan rendah.
Selain itu mengingat masih minimnya tenaga medis yang ada (menurut
standar World Health Organization rasio ideal dokter dengan penduduk
adalah 1:2000, sementara di Indonesia 1: 4000) perlu adanya kebijakan
dalam pengadaan jumlah dokter. Misalnya, penyediaan jaminan biaya
pendidikan.
Sulit rasanya memimpikan terwujudnya
peningkatan kualitas layanan kesehatan ketika masalah pemerataan sendiri
belum tuntas. Apalagi, jika cara pandang yang ada mengenai pemerataan
sendiri masih terbatas pada pengertian fasilitas. Fasilitas atau sarana
fisik hanyalah faktor kedua atau pendukung dalam mewujudkan kesehatan
masyarakat. Yang utama, mesti terwujudnya dulu pemerataan bidang-bidang
yang mendukung terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat seperti sandang,
pangan, dan papan.(Turino Mulawarman)
|