PASTIonline

Edisi 24 Tahun VIII

Februari 2004

 

Laporan Utama

Pemerataan Kesehatan, Berjalan Timpang ?

Pemerataan kesehatan bukan sekedar pemenuhan fasilitas fisik.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah dicapai di bidang kesehatan modern memunculkan standar-standar bagi kesehatan. Berawal dari perkembangan tersebut, muncul indikator-indikator seperti angka kematian bayi, angka kematian ibu, serta angka kecukupan gizi. Indikator-indikator ini yang kemudian digunakan banyak negara untuk meningkatkan derajad kesehatan masyarakatnya.

Indonesia pun sebagai negara berkembang, turut serta dalam pengejaran standar itu. Sayangnya, pembangunan yang terjadi hanya untuk mengejar image. Pemerataan bidang kesehatan bukan dimaknai secara luas, namun hanya diintepretasikan secara parsial. Akibatnya pemerataan yang terjadi hanya sebatas pembangunan sarana-sarana fisik. Ini terlihat dari banyaknya puskesmas yang berdiri, namun tak terkelola dengan baik karena keterbatasan tenaga medis. Akhirnya, masyarakat pun masih tak mendapatkan pelayanan kesehatan secara optimal.

Tatkala persoalan dasar kesehatan masyarakat, yakni terpenuhinya basic need (sandang, pangan, papan) belum terjawab dan pemerataan pembangunan belum terpenuhi, pemerintah melakukan kerja sama dengan swasta dengan harapan pemenuhan fasilitas kesehatan masyarakat mampu terjawab. Untuk itu, melalui SK no.2 tahun 1979, pembagian peran dengan swasta dalam penyedian fasilitas rumah sakit mulai dilakukan.  SK itu mewajibkan rumah sakit-rumah sakit tersebut dapat memenuhi persyaratan perundangan yang berlaku. Misalnya saja Undang-Undang Pokok Kesehatan nomor 9 tahun 1960. Kebebasan swasta untuk berkiprah pada dunia kesehatan, memacu tumbuhnya sektor-sektor industri kesehatan yang kompleks. Semisal medical center, praktek dokter bersama, perusahaan obat swasta serta rumah sakit swasta.

Sayangnya, dengan kebijakan ini pun masalah pemerataan tetap tak terjawab. Patahnya konsep pembagian peran itu terlihat dari tidak meratanya pembangunan di tiap daerah. Akibatnya, pembangunan yang dilakukan swasta pun masih terpusat di titik-titik yang pendapatan masyarakatnya relatif lebih tinggi. Dengan prinsip ekonomi yang dipegangnya, swasta menginginkan pengembalian modal dan perolehan keuntungan dari modal yang telah dikeluarkannya. Namun, pengembalian modal dan perolehan keuntungan ini menjadi utopia saja mengingat masih rendahnya pendapatan rata-rata daerah.

Makin rumit lagi ketika masalah pemerataan ini belum selesai muncul pula kebijakan otonomi daerah. Otonomi ini pun terjadi dalam kesehatan. Harapan awalnya, dengan otonomi kebijakan–kebijakan yang menyangkut pembangunan kesehatan daerah dapat dilakukan secara cepat sesuai kebutuhan lokalitas. Misalnya, pengadaan dokter di rumah sakit pemerintah atau puskesmas.

Namun, kenyataannya masih banyak daerah yang tidak siap mengikuti kebijakan ini. Minimnya sumber daya yang tersedia akibat pembangunan sentralistik dimasa lalu justru mendorong terjadinya arogansi daerah di berbagai bidang, termasuk kesehatan. Misalnya soal kebijakan penetapan tarif yang lebih tinggi guna mengisi kas daerah. Lihat saja dengan kebijakan tarif  Puskesmas yang terjadi di Kabupaten Sleman DIY yang semula Rp. 600, 00 menjadi Rp. 6000,00.

Dalam mengatasi pemerataan tenaga medis pun pemerintah sebenarnya telah melakukan beberapa upaya, misalnya saja dengan program Wajib Kerja Sarjana (WKS). Namun, hal ini tetap belum menjawab persoalan. Bagiamana tidak, pemberlakuan kebijakan itu tak disertai dengan pemberian jaminan memadai bagi dokter dan fasilitas-fasilitas yang mendukung. Akibatnya, dokter tetap terkonsentrasi di kota. “Pembangunan fasilitas hanya dilakukan di daerah-daerah tertentu, sementara di daerah lain fasilitasnya tidak merata, tetapi dokter dipaksa merata,” ungkap dr. Masyur Romi, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Yogyakarta.

Saat ikatan kontrak kerja semacam WKS belum mampu menjawab pemerataan, dalam perjalanannya justru muncul konsep Pegawai Tidak Tetap (PTT). Beda PTT dengan WKS ini terletak pada statusnya, yang semula pegawai negeri sipil, kini bukan. Jaminan tersebarnya tenaga medis di daerah pun semakin terbengkalai. Masalahnya sama saja setelah itu, para dokter tetap terpusat. “PTT ini sebenarnya sebenarnya cuma solusi sementara, agar pemerintah tidak terbebani dalam menggaji dokter,” ungkap dr. Mubasyir Hasanbasri, MA, Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada.

Makin ironis ketika sumber daya medis yang ada terpusat, muncul masalah-masalah baru dalam wajah kesehatan. Banyaknya sektor layanan swasta semacam rumah sakit dan konsentrasi tenaga medis yang tak diimbangi adanya pengawasan dan kontrol yang jelas mendorong munculnya praktek-praktek monopoli yang berimbas pada diskriminasi pelayanan. Dalam monopoli kesehatan yang terwujud lewat berbagai diversifikasi pelayanan ini, masyarakat ekonomi kecil tak memiliki kebebasan dan jaminan memadai untuk mengakses kesehatan. Hal ini terlihat dari tajamnya perbedaan jumlah bangsal masyarakat kurang mampu dengan jumlah bangsal masyarakat menengah atas di rumah sakit.

Untuk mengatasi masalah pemerataan akses ini pemerintah pun sebenarnya telah bertindak. Misalnya dengan pemberian jaminan bagi masyarakat miskin seperti pengadaan asuransi-asuransi sosial seperti Jaringan Pengaman Kesehatan Masyarakat (JPKM). Repotnya pemberian jaminan pun bermasalah. Orientasi ekonomi yang begitu mengental ketika kesehatan telah menjadi industri berdampak pada perilaku-perilaku yang diskriminatif pada pengguna askes. “Untuk masyarakat yang memakai askes itu birokrasinya sangat susah dan berbelit-belit. Ada sekian diskriminasi yang terjadi jika pelayanan itu sifatnya gratis,” ungkap Taufiqurahman, Ketua Koalisi Untuk Yogyakarta Sehat. Sementara itu, besarnya jaminan yang di berikan pun sangat terbatas, hanya untuk kesehatan dasar. Artinya untuk kondisi kritis yang memerlukan perawatan lebih, masyarakat bawah ini tak dilayani. Hal ini disebabkan karena dana yang disediakan oleh pemerintah pun sangat terbatas.

Masih banyak tugas yang mesti diselesaikan dalam mewujudkan pemerataan fasilitas layanan kesehatan ini. Hal ini misalnya saja dapat dilakukan dengan memberikan kemudahan birokrasi dan insentif bagi swasta yang berkarya di daerah. Namun perlu kebijakan yang mengatur dan mengawasi mengingat karakteristik swasta ini dikelola juga dengan prinsip-prinsip ekonomi. Pemerintah dalam hal ini dapat bertugas sebagai regulator, menjembatani swasta yang mencari keuntungan dengan masyarakat yang berpendapatan rendah.

Selain itu mengingat masih minimnya tenaga medis yang ada (menurut standar World Health Organization rasio ideal dokter dengan penduduk adalah 1:2000,  sementara di Indonesia 1: 4000) perlu adanya kebijakan dalam pengadaan jumlah dokter. Misalnya, penyediaan jaminan biaya pendidikan.

Sulit rasanya memimpikan terwujudnya peningkatan kualitas layanan kesehatan ketika masalah pemerataan sendiri belum tuntas. Apalagi, jika cara pandang yang ada mengenai pemerataan sendiri masih terbatas pada pengertian fasilitas. Fasilitas atau sarana fisik hanyalah faktor kedua atau pendukung dalam mewujudkan kesehatan masyarakat. Yang utama, mesti terwujudnya dulu pemerataan bidang-bidang yang mendukung terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat seperti sandang, pangan, dan papan.(Turino Mulawarman)

Baca Juga Rubrik Laporan Utama Lainnya

Pemerataan Kesehatan, Berjalan Timpang ?

Mambangun Kemandirian Masyarakat dalam Wacana Kesehatan

Melalui Kebijakan, Menjamin Keadilan

Box Wawancara

Home Kembali Daftar Isi Kritik & Saran

 

 

© 2003 Webmaster UPM PASTI Universitas Atma Jaya Yogyakarta.