Langkah untuk mengendalikan kinerja tenaga
medis sebenarnya telah sampai pada konsep pembentukan konsil
(council) kesehatan. Konsil ini merupakan kumpulan tenaga-tenaga
ahli dan senior dalam bidang medis. Konsil inilah yang nantinya akan
menetapkan kesalahan dari tenaga kesehatan. Konsil ini juga yang akan
menetapkan sangsi administratif atau pidana umum seorang tenaga medis.
Namun konsil ini pun masih sebatas konsep dan masih jauh realisasinya.
Untuk menciptakan konsil ini mesti terbentuk dulu konsil farmasi, konsil
kedokteran, atau konsil kedokteran gigi.
Kokohnya kecenderungan profesional
abuse praktek medis ini semakin menjadi-jadi ketika budaya
konsumerisme yang berkembang di masyarakat sendiri. Konsumerisme ini
terlihat dari masyarakat yang menganggap bahwa teknologi tinggi dan
harga yang mahal menunjukkan kualitas yang (pasti) lebih baik. Semisal
saja, salah kaprah ini terjadi juga pada cara pandang tentang obat
generik yang dianggap bermutu rendah. Padahal, rendahnya harga generik
dibandingkan dengan obat brandname bukan melulu menunjukkan pada
perbedaan kualitas. “Masyarakat kadang sok tahu tentang obat, padahal
antara obat generik dengan obat brandname itu khasiatnya sama,
hanya brandname lebih mahal karena ada biaya promosi,” ungkap
dr. FX. Haryatno, akupunturis Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.
Keunggulan generik sebenarnya bukan hanya
pada soal harganya yang lebih terjangkau. Untuk masalah mutu, generik
pun memiliki keunggulan dibanding obat brandname. Bioafibilitas
(ketersediaan unsur hayati obat di dalam darah) dari obat generik lebih
tinggi daripada obat brandname. “Tingginya bioafibilitas obat
generik menyebabkan obat itu akan cepat diabsorbsi (diserap) dan cepat
bereaksi,” ungkap Elvy.
Selain itu, untuk melayani kebutuhan
pengobatan, pengembangan obat generik sendiri telah memenuhi tahap kedua
pelayanan kesehatan, yakni pelayanan kesehatan rujukan (spesialis).
Pelayanan kesehatan sendiri terbagi atas pelayanan kesehatan dasar,
pelayanan kesehatan rujukan (spesialis), dan pelayanan kesehatan sub
spesialis.
Namun, perkembangan generik ini seakan tak
banyak bicara ketika penggunaannya sendiri tersisih oleh adanya obat
brandname. Kurangnya promosi yang berakibat pada minimnya
pengetahuan masyarakat menyebabkan masyarakat masih berpikir branded.
Dalam kondisi ini, masyarakat pun tak berdaya dan tetap menjadi objek
monopoli perusahaan yang memproduksi obat brandname.
Dalam keadaan seperti ini seharusnya
tenaga medis macam dokter memberikan pengetahuan agar masyarakat,
khususnya masyarakat ekonomi kecil pengguna layanan kesehatan tidak
terjebak dalam permainan itu. Hal ini disebabkan dalam hubungannya
dengan masyarakat saat ini, dokterlah yang memberi arahan pada pasien
karena memiliki pengetahuan dan kewenangan. Sayangnya, transfer
pengetahuan ini jarang terjadi. ”Dokter itu asal katanya docere,
artinya memberikan arahan atau petunjuk, jadi tidak hanya sebatas
mengobati saja,” tutur dr. Masyur Romi, Ketua Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) Yogyakarta.
Salah satu penyebabnya terhambatnya
transfer pengetahuan antara tenaga medis dengan pasien sendiri selama
ini terjadi karena metode pelayanan yang diberikan cenderung bersifat
kuratif. Pasien hanya diberi pertolongan, bukan diberdayakan. Ini
berakibat pada kebuntuan informasi dan memupuk munculnya sifat-sifat
ketergantungan. Celakanya, jika hal ini terjadi pada masyarakat ekonomi
kecil, ia harus berhadapan dengan sistem medik yang semakin lama semakin
mahal.
Metode kuratif ini menjadi muara
permintaan pasien yang mengharapkan hasil cepat dan terukur dengan
penawaran tenaga medis yang lemah jaminan kesejahteraannya.
“Dokter selama ini tidak memiliki konsep
preventif. Pencegahan itu adalah beban dan layanan kuratif itu adalah
revenue centre,” ungkap dr. Riris Andonoachmad, M.PH.,
Staf Pengajar Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada. Selain menjadi sumber penghasilan (revenue
centre), selama ini metode preventif pun memang tak pernah
dialokasikan dalam pelayanan kesehatan.
Metode parsial dalam kesehatan semacam
kuratif ini berkembang subur dimasyarakat. Namun, kesuburan di sini
berdampak pada tidak terdidiknya masyarakat, yang mengakibatkan ia tidak
mampu mandiri dalam menangani masalah kesehatan. Layaknya sebuah produk,
agar masyarakat tertarik untuk mencapai kemandirian kesehatan, perlakuan
pada kesehatan pun perlu diperhatikan agar masyarakat tidak sampai
menjadi sakit. Sayangnya, perlakuan wacana kesehatan ini pada masyarakat
seringkali bersifat asimetris. Dalam pemberian atau promosi wacana
kesehatan, masyarakat diposisikan sebagai objek yang sepertinya tak
mengerti apa pun soal kesehatan. Masyarakat terpojok.
Berbeda jika melihat promosi lainnya.
Misalnya saja promosi salah satu kompetitor dalam dunia kesehatan,
rokok. Proses yang dilakukan oleh perusahaan rokok lebih persuasif.
“Perusahaan rokok itu membuat masyarakat bermimpi, masuknya sangat
halus, itu yang menyebabkan rokok diterima. Tapi tidak demikian
dengan petugas kesehatan, masyarakat itu didikte, dianggap bodoh, dan
dipojokkan,” imbuh Riris.
Dalam konteks pembangunan kesehatan yang
dibangun seharusnya adalah masyarakat. Itulah yang kerap terlupa selama
ini. Masyarakat seringkali menjadi non-faktor dalam wajah kesehatan.
Jadi kalau ngomong kesehatan, masyarakatlah yang seharusnya
menjadi subjek. Sayangnya, orientasi pada masyarakat ini kerap
tersingkir dalam metode kuratif yang diberikan.
Langgengnya konsep kuratif sendiri juga
dipengaruhi oleh pola pikir masyarakat yang menganggap bahwa sehat
adalah bebas dari sakit. Kuratif mendapat penghargaan yang lebih tinggi
dari masyarakat. Masyarakat sendiri juga merasakan dari sakit menjadi
sembuh. Prinsip ‘mencegah lebih baik daripada mengobati’ pun akhirnya
hanya berhenti sebatas wacana.
Rumit dalam mewujudkan kemandirian
kesehatan ketika kesehatan hanya dimaknai sebagi upaya kuratif yang
terjadi antara dokter dengan pasien. Kesehatan semestinya dimaknai
sebagai sistem yang luas, bukan sebatas relasi dokter dengan pasien,
tapi proses yang melibatkan seluruh sistem yang berkaitan dengan
perilaku manusia dan interaksi lingkungannya.
Selama ini kesehatan telah diletakkan
dalam ruang sempit dimana sehat adalah keadaan bebas dari sakit. Cara
pandang ini kemudian menghasilkan tindakan-tindakan yang sifatnya bukan
merujuk pada hal-hal penjagaan, pembaruan, atau pendidikan.
Ketika cara pandang semacam ini tak jua
bergeser, hal-hal lain yang berada di luar masyarakat mengalami
perkembangan. Pesatnya kemajuan ilmu dan teknologi mau tak mau
mempengaruhi pergeseran kebudayaan masyarakat pula. Masuknya suatu
budaya pada budaya lainnya mempengaruhi perilaku-perilaku masyarakat,
misalnya saja dalam pola makan atau gaya hidup (life style).
Hal ini memperpanjang rantai sistem kesehatan suatu masyarakat.
Bagaimana tidak, perubahan perilaku akibat kemajuan teknologi dan
pesatnya informasi itu menyebabkan terjadinya perubahan pola penyakit
pula.
Pada khirnya urusan kesehatan menjadi
permasalahan yang lintas kultural. Kesehatan menjadi permasalahan yang
sangat kompleks, yang mengakibatkan kepentingan yang terlibat mengurusi
masalah ini pun juga bertambah.
Kompleksitas permasalahan kesehatan, yang
salah satunya dicerminkan dengan perubahan pola penyakit dari penyakit
menular ke penyakit akibat kompleksitas teknologi dan kemapanan belum
terjadi di negeri ini secara luas. Masih segelintir masyarakat saja yang
terkena penyakit-penyakit akibat kompleksitas teknologi atau kemapanan
semacam itu. Namun hal ini bukan berarti dibaca sebagai sesuatu yang
positif. Jenis penyakit yang bervariasi menimpa masyarakat tersebut
menunjukkan bahwa pembangunan yang ada di masyarakat masih belum
mengalami pemerataan. Di satu sisi segelintir masyarakat terkena
penyakit yang disebabkan pola-pola hidup mapan, namun di sisi lain masih
ada sekelompok masyarakat yang menderita jenis-jenis penyakit akibat
kelaparan atau kekurangan gizi.
Untuk mengatasi persoalan kesehatan di
Indonesia, tak cukup hanya dengan pembangunan sarana-sarana fisik.
Pembangunan kesehatan berarti pembangunan kemandirian masyarakat untuk
dapat hidup secara sehat. Kemandirian itu akan terwujud jika telah
terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat seperti sandang,
pangan, dan papan. Selain itu, pembangunan dari dunia kesehatan sendiri
pun tak cukup hanya menyentuh upaya-upaya kuratif semata.
Perlu adanya cara pandang tentang kesehatan yang menyeluruh. Hal ini
dapat terwujud dengan pemberian metode kesehatan yang mencakup aspek
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Tentu untuk membangun
kemandirian masyarakat ini tidak semudah membalik telapak tangan. Peran
serta pemerintah, swasta, dan pelibatan masyarakat sendiri sangat
diperlukan agar kultur kesehatan ini dapat terbangun.
Florencius Sinaga
Laporan:
Turino Mulawarman, Yunanto Wiji Utomo,
Pribadi Wicaksono
|