PASTIonline

Edisi 24 Tahun VIII

Februari 2004

 

Laporan Utama

Langkah untuk mengendalikan kinerja tenaga medis sebenarnya telah sampai pada konsep pembentukan konsil (council) kesehatan. Konsil ini merupakan kumpulan tenaga-tenaga ahli dan senior dalam bidang medis. Konsil inilah yang nantinya akan menetapkan kesalahan dari tenaga kesehatan. Konsil ini juga yang akan menetapkan sangsi administratif atau pidana umum seorang tenaga medis. Namun konsil ini pun masih sebatas konsep dan masih jauh realisasinya. Untuk menciptakan konsil ini mesti terbentuk dulu konsil farmasi, konsil kedokteran, atau konsil kedokteran gigi.

Kokohnya kecenderungan profesional abuse praktek medis ini semakin menjadi-jadi ketika budaya konsumerisme yang berkembang di masyarakat sendiri. Konsumerisme ini terlihat dari masyarakat yang menganggap bahwa teknologi tinggi dan harga yang mahal menunjukkan kualitas yang (pasti) lebih baik. Semisal saja, salah kaprah ini terjadi juga pada cara pandang tentang obat generik yang dianggap bermutu rendah. Padahal, rendahnya harga generik dibandingkan dengan obat brandname bukan melulu menunjukkan pada perbedaan kualitas. “Masyarakat kadang sok tahu tentang obat, padahal antara obat generik dengan obat brandname itu khasiatnya sama, hanya brandname lebih mahal karena ada biaya promosi,” ungkap dr. FX. Haryatno, akupunturis Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.

Keunggulan generik sebenarnya bukan hanya pada soal harganya yang lebih terjangkau. Untuk masalah mutu, generik pun memiliki keunggulan dibanding obat brandname. Bioafibilitas (ketersediaan unsur hayati obat di dalam darah) dari obat generik lebih tinggi daripada obat brandname. “Tingginya bioafibilitas obat generik menyebabkan obat itu akan cepat diabsorbsi (diserap) dan cepat bereaksi,” ungkap Elvy.

Selain itu, untuk melayani kebutuhan pengobatan, pengembangan obat generik sendiri telah memenuhi tahap kedua pelayanan kesehatan, yakni pelayanan kesehatan rujukan (spesialis). Pelayanan kesehatan sendiri terbagi atas pelayanan kesehatan dasar, pelayanan kesehatan rujukan (spesialis), dan pelayanan kesehatan sub spesialis.

Namun, perkembangan generik ini seakan tak banyak bicara ketika penggunaannya sendiri tersisih oleh adanya obat brandname. Kurangnya promosi yang berakibat pada minimnya pengetahuan masyarakat menyebabkan masyarakat masih berpikir branded. Dalam kondisi ini, masyarakat pun tak berdaya dan tetap menjadi objek monopoli perusahaan yang memproduksi obat brandname.

Dalam keadaan seperti ini seharusnya tenaga medis macam dokter memberikan pengetahuan agar masyarakat, khususnya masyarakat ekonomi kecil pengguna layanan kesehatan tidak terjebak dalam permainan itu. Hal ini disebabkan dalam hubungannya dengan masyarakat saat ini, dokterlah yang memberi arahan pada pasien karena memiliki pengetahuan dan kewenangan. Sayangnya, transfer pengetahuan ini jarang terjadi. ”Dokter itu asal katanya docere, artinya memberikan arahan atau petunjuk, jadi tidak hanya sebatas mengobati saja,” tutur dr. Masyur Romi, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Yogyakarta.

Salah satu penyebabnya terhambatnya transfer pengetahuan antara tenaga medis dengan pasien sendiri selama ini terjadi karena metode pelayanan yang diberikan cenderung bersifat kuratif. Pasien hanya diberi pertolongan, bukan diberdayakan. Ini berakibat pada kebuntuan informasi dan memupuk munculnya sifat-sifat ketergantungan. Celakanya, jika hal ini terjadi pada masyarakat ekonomi kecil, ia harus berhadapan dengan sistem medik yang semakin lama semakin mahal.

Metode kuratif ini menjadi muara permintaan pasien yang mengharapkan hasil cepat dan terukur dengan penawaran tenaga medis yang lemah jaminan kesejahteraannya.

“Dokter selama ini tidak memiliki konsep preventif. Pencegahan itu adalah beban dan layanan kuratif itu adalah revenue centre,” ungkap dr. Riris Andonoachmad, M.PH., Staf Pengajar Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Selain menjadi sumber penghasilan (revenue centre), selama ini metode preventif pun memang tak pernah dialokasikan dalam pelayanan kesehatan.

Metode parsial dalam kesehatan semacam kuratif ini berkembang subur dimasyarakat. Namun, kesuburan di sini berdampak pada tidak terdidiknya masyarakat, yang mengakibatkan ia tidak mampu mandiri dalam menangani masalah kesehatan. Layaknya sebuah produk, agar masyarakat tertarik untuk mencapai kemandirian kesehatan, perlakuan pada kesehatan pun perlu diperhatikan agar masyarakat tidak sampai menjadi sakit. Sayangnya, perlakuan wacana kesehatan ini pada masyarakat seringkali bersifat asimetris. Dalam pemberian atau promosi wacana kesehatan, masyarakat diposisikan sebagai objek yang sepertinya tak mengerti apa pun soal kesehatan. Masyarakat terpojok.

Berbeda jika melihat promosi lainnya. Misalnya saja promosi salah satu kompetitor dalam dunia kesehatan, rokok. Proses yang dilakukan oleh perusahaan rokok lebih persuasif. “Perusahaan rokok itu membuat masyarakat bermimpi, masuknya sangat halus, itu yang menyebabkan  rokok diterima. Tapi tidak demikian dengan petugas kesehatan, masyarakat itu didikte, dianggap bodoh, dan dipojokkan,” imbuh Riris.

Dalam konteks pembangunan kesehatan yang dibangun seharusnya adalah masyarakat. Itulah yang kerap terlupa selama ini. Masyarakat seringkali menjadi non-faktor dalam wajah kesehatan. Jadi kalau ngomong kesehatan, masyarakatlah yang seharusnya menjadi subjek. Sayangnya, orientasi pada masyarakat ini kerap tersingkir dalam metode kuratif yang diberikan.

Langgengnya konsep kuratif sendiri juga dipengaruhi oleh pola pikir masyarakat yang menganggap bahwa sehat adalah bebas dari sakit. Kuratif mendapat penghargaan yang lebih tinggi dari masyarakat. Masyarakat sendiri juga merasakan dari sakit menjadi sembuh. Prinsip ‘mencegah lebih baik daripada mengobati’ pun akhirnya hanya berhenti sebatas wacana.

Rumit dalam mewujudkan kemandirian kesehatan ketika kesehatan hanya dimaknai sebagi upaya kuratif yang terjadi antara dokter dengan pasien. Kesehatan semestinya dimaknai sebagai sistem yang luas, bukan sebatas relasi dokter dengan pasien, tapi proses yang melibatkan seluruh sistem yang berkaitan dengan perilaku manusia dan interaksi lingkungannya.

Selama ini kesehatan telah diletakkan dalam ruang sempit dimana sehat adalah keadaan bebas dari sakit. Cara pandang ini kemudian menghasilkan tindakan-tindakan yang sifatnya bukan merujuk pada hal-hal penjagaan, pembaruan, atau pendidikan.

Ketika cara pandang semacam ini tak jua bergeser, hal-hal lain yang berada di luar masyarakat mengalami perkembangan. Pesatnya kemajuan ilmu dan teknologi mau tak mau mempengaruhi pergeseran kebudayaan masyarakat pula. Masuknya suatu budaya pada budaya lainnya mempengaruhi perilaku-perilaku masyarakat, misalnya saja dalam pola makan atau gaya hidup (life style). Hal ini memperpanjang rantai sistem kesehatan suatu masyarakat. Bagaimana tidak, perubahan perilaku akibat kemajuan teknologi dan pesatnya informasi itu menyebabkan terjadinya perubahan pola penyakit pula.

Pada khirnya urusan kesehatan menjadi permasalahan yang lintas kultural. Kesehatan menjadi permasalahan yang sangat kompleks, yang mengakibatkan kepentingan yang terlibat mengurusi masalah ini pun juga bertambah.

Kompleksitas permasalahan kesehatan, yang salah satunya dicerminkan dengan perubahan pola penyakit dari penyakit menular ke penyakit akibat kompleksitas teknologi dan kemapanan belum terjadi di negeri ini secara luas. Masih segelintir masyarakat saja yang terkena penyakit-penyakit akibat kompleksitas teknologi atau kemapanan semacam itu. Namun hal ini bukan berarti dibaca sebagai sesuatu yang positif. Jenis penyakit yang bervariasi menimpa masyarakat tersebut menunjukkan bahwa pembangunan yang ada di masyarakat masih belum mengalami pemerataan. Di satu sisi segelintir masyarakat terkena penyakit yang disebabkan pola-pola hidup mapan, namun di sisi lain masih ada sekelompok masyarakat yang menderita jenis-jenis penyakit akibat kelaparan atau kekurangan gizi.

Untuk mengatasi persoalan kesehatan di Indonesia, tak cukup hanya dengan pembangunan sarana-sarana fisik. Pembangunan kesehatan berarti pembangunan kemandirian masyarakat untuk dapat hidup secara sehat. Kemandirian itu akan terwujud jika telah terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat seperti sandang, pangan, dan papan. Selain itu, pembangunan dari dunia kesehatan sendiri pun tak cukup hanya menyentuh upaya-upaya kuratif semata.

Perlu adanya cara pandang tentang kesehatan yang menyeluruh. Hal ini dapat terwujud dengan pemberian metode kesehatan yang mencakup aspek promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Tentu untuk membangun kemandirian masyarakat ini tidak semudah membalik telapak tangan. Peran serta pemerintah, swasta, dan pelibatan masyarakat sendiri sangat diperlukan agar kultur kesehatan ini dapat terbangun.


Florencius Sinaga   

Laporan:  

Turino Mulawarman, Yunanto Wiji Utomo, Pribadi Wicaksono  

 

Baca Juga Rubrik Laporan Utama Lainnya

Pemerataan Kesehatan, Berjalan Timpang ?

Mambangun Kemandirian Masyarakat dalam Wacana Kesehatan

Melalui Kebijakan, Menjamin Keadilan

Box Wawancara

Home Kembali Daftar Isi Kritik & Saran

 

 

© 2003 Webmaster UPM PASTI Universitas Atma Jaya Yogyakarta.