PASTIonline

Edisi 24 Tahun VIII

Februari 2004

 

Laporan Utama

Mambangun Kemandirian Masyarakat

dalam Wacana Kesehatan

Kesehatan bukanlah sistem yang netral. Kesehatan bukan hanya urusan fisik tapi juga menyentuh ranah sosial kultural manusia.

Pesatnya perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan akan mempengaruhi lingkungan, cara hidup, dan perkembangan pola penyakit. Dengan demikian suatu jenis penyakit yang semula tidak merupakan masalah, dapat menjadi masalah atau sebaliknya.

Pergeseran pola penyakit (transisi epidemologi) ini memiliki kaitan erat dengan perkembangan dan pertumbuhan sosial-ekonomi sebuah negara. Begitu pula dengan Indonesia. Terjadinya distribusi pembangunan yang tidak merata di masa lalu menjadi faktor utama yang turut mempengaruhi pergeseran pola penyakit. Namun transisi ini belum selesai. Penyakit infeksi atau menular seperti tuberkulosa, tifus, kolera, atau disentri masih dialami kelompok masyarakat yang berada dalam kondisi miskin, kurang gizi, lingkungan tidak bersih, dan sanitasi yang buruk. Sementara, pada masyarakat yang telah tercukupi faktor-faktor tersebut, penyakit yang berkembang adalah jenis penyakit-penyakit kronis yang lebih buruk semisal jantung, gula, ginjal, atau kanker. Tidak tuntasnya pergeseran penyakit itu menyebabkan Indonesia menghadapi tekanan ganda penyakit (double burden of disease).

Dampak dari transisi epidemologi ini salah satunya adalah meningkatnya belanja kebutuhan terhadap teknologi medis. Dalam konteks ini, untuk membicarakan kesehatan pun tak dapat melupakan soal industri yang bergulat dibelakangnya. Selain mempengaruhi tingginya biaya perawatan kesehatan, besarnya dorongan modal yang mendukung teknologi-teknologi tinggi dalam industri kesehatan membuat urusan kesehatan layaknya sebuah paket imperialisme medik. Hal inilah yang membuat sistem kesehatan bukan lagi sebuah sistem yang berdiri sendiri, yang hanya mengatur relasi tenaga medis dengan pasien.

Semakin panjangnya mata rantai dalam dunia kesehatan ini mengakibatkan sistem kesehatan yang ada menjadi semakin tidak demokratis. Sistem kesehatan menjadi sistem yang otoriter dan sulit terjangkau.Permasalahan yang muncul kemudian, tidak semua lapisan masyarakat mampu mengakses keberadaan teknologi-teknologi medis itu. Secara tidak langsung, melalui transisi epidemologi yang dibarengi dengan industrialisasi kesehatan yang semakin komplek, stratifikasi dalam masyarakat pun terlihat.

Tatkala transisi epidemologi itu terjadi, ada variabel yang patut dicermati, yakni menyangkut cara pandang masyarakat sendiri terhadap persoalan kesehatan. Persoalan kesehatan masih dipandang sebagai bagian yang berdiri sendiri, terpisah dari sistem yang lain. Keterpisahan kesehatan sebagai sistem yang komplek ini misalnya saja dapat dilihat dari cara pandang yang terwujud dalam perilaku-perilaku konsumsi masyarakat, seperti dalam pemilihan terhadap makanan.”Ketika makanan itu datang dari suatu sistem, mata rantai, pola hidup yang berbeda, jika ada masalah yang berhubungan dengan rantai makanan itu, kita terpaksa mengacu pada sistem obat dari luar,” ungkap P.M Laksono, Ph.D, Staf Peneliti Pusat Studi Asia Pasifik. Sayangnya, kesadaran akan hal ini tenggelam tatkala pandangan yang berkembang tentang makanan justru “you are what you eat”. Seseorang memilih makanan karena diajarkan, bukan karena pemenuhan kebutuhan fisiologis atau rasa lapar semata. Orang pun mencari representasi status dalam makanan yang dipilihnya.

Dalam pemisahan sistem kesehatan dengan sistem lainnya tersebut mengakibatkan masyarakat memberikan kedaulatan segala urusan kesehatannya ke tangan dokter dan mengakibatkan larisnya metode kuratif dalam dunia medis. Kesehatan akhirnya hanya dimaknai sebagai ketiadaan penyakit.

Pandangan bahwa sistem kesehatan ini tak memiliki ikatan dengan sistem lainnya terut dilanggengkan tatkala dalam konseptual ilmu kedokteran modern sendiri selama ini tak mampu menterjemahkan konsep sakit (illnes)dan penyakit (disease). Sakit merupakan suatu kondisi manusia secara total, utuh menyangkut aspek fisiologis, psikolgis, dan sosial. Sedangkan penyakit adalah suatu kondisi bagian tubuh tertentu. Dalam prakteknya, pendekatan yang sering digunakan dalam dunia medis lebih memberi perhatian pada penyakit itu sendiri dan melupakan konteks manusia sebagai subjek yang utuh. Ini mengakibatkan pendekatan yang terjadi lebih menekankan pada aspek ketidaknormalanbiologis manusia. Tubuh yang sakit dipandang sebagai mekanisme mesin yang rusak, oleh karena itu perlakuan padanya lebih pada pendekatan mekanistik. Pasien hanya ditanya bagian tubuh mana yang sakit dan diberikan obat-obat untuk mengatasi ganguan fungsi tubuhnya itu. Padahal, seringkali orang merasa sakit tanpa sebab fisiologis namun lebih pada tekanan pikiran yang mengakibatkan kerentanan tubuhnya. Namun, metode kuratif ini menjadi pertimbangan masyarakat untuk memberikan penghargaan pada kinerja profesi medis. Sementara, elemen-elemen ‘investasi’ yang sifatnya pencegahan tersingkir karena dalam metode ini aspek-aspek yang menekankan pada pendekatan manusiawi terabaikan. Inilah yang mengakibatkan masyarakat masuk dalam ketergantungan medis tanpa dapat mengembangkan pemberdayaan bagi dirinya.

Objektifikasi masyarakat dalam wacana kesehatan ini terjadi sebagai akibat terpasungnya informasi wacana kesehatan. Standar kesehatan seakan mengambang dan tak pernah jelas tatkala tak ada proses demokratisasi dalam pembentukan wacana kesehatan tersebut. Dalam kegamangan dan rasa tak aman itu, sistem medis dengan segala perangkat teknologi, informasi, dan kuasanya tampil untuk mengarahkan dan menegaskan pandangan bahwa segala urusan kesehatan tepat penyelesaiannya jika berada di tangan mereka. Dalam kondisi ini, terjadilah mistifikasi sistem kesehatan.

“Sebenarnya sistem kesehatan tidak menjawab persoalan tetapi dianggap bisa menyelesaikan. Itulah kesadaran palsu dalam sistem kesehatan modern,” imbuh Laksono. Distorsi pengetahuan tersebut akhirnya membawa masyarakat berpandangan bahwa kesehatan hanya menyangkut urusan bebas dari sakit, dan dalam wilayah itu hanyalah mereka yang memiliki informasi dan teknologi yang berwenang memberikan penilaian keadaan kesehatan masyarakat.  Padahal, urusan kesehatan ini bukan hanya urusan kecil kimiawi dan mekanik yang hanya terdapat dalam relasi dokter pasien melainkan dipengaruhi oleh perilaku, makanan, dan sifat dasar lingkungan alam manusia.

Karena faktor-faktor penentu kesehatan itu berbeda dari satu kebudayaan ke kebudayaan lainnya, maka tiap kebudayaan mempunyai penyakit khasnya sendiri. Ketika makanan, perilaku,dan situasi lingkungan berangsur-angsur berubah, berubah pula pola penyakit itu. Jadi masalah kesehatan tak sebatas pada aspek fisiologis dan menjadi wewenang dokter.

Untuk membebaskan masyarakat agar dapat mampu berdaulat atas kesehatannya, transformasi pengetahuan menjadi syarat yang tak bisa ditawar lagi. Keseimbangan relasi kuasa dalam penentuan wacana kesehatan masyarakat tak akan mungkin terwujud ketika transformasi informasi ini  terhambat, bahkan dimanipulasi. Perlu ada gerakan penyadaran pada masyarakat bahwa kesehatan merupakan sisitem yang utuh, yang menembus batas fisik sebuah tubuh dan menyentuh ranah-ranah sosial kutural.

Proses penyadaran melalui transformasi pengetahuan ini dapat terwujud dalam bentuk pendidikan yang memerdekakan dan demokratis. Bahwa manusia adalah subjek, yang memiki hak penuh atas kesehatannya. Hak-hak tersebut tak bisa hanya dipasrahkan atau diambil alih dalam kerangka-kerangka biomedis yang menekankan pada aspek fisik semata. Ketika kedaulatan atas wacana ini telah terbangun, proses penginsyafan akan terjadi dan kemandirian kesehatan secara utuh pun terwujud.(Pribadi Wicaksono)

Baca Juga Rubrik Laporan Utama Lainnya

Pemerataan Kesehatan, Berjalan Timpang ?

Mambangun Kemandirian Masyarakat dalam Wacana Kesehatan

Melalui Kebijakan, Menjamin Keadilan

Box Wawancara

Home Kembali Daftar Isi Kritik & Saran

 

 

© 2003 Webmaster UPM PASTI Universitas Atma Jaya Yogyakarta.