Kesehatan bukanlah sistem yang netral. Kesehatan bukan hanya urusan
fisik tapi juga menyentuh ranah sosial kultural manusia.
Pesatnya perkembangan
teknologi dan ilmu pengetahuan akan mempengaruhi lingkungan, cara hidup,
dan perkembangan pola penyakit. Dengan demikian suatu jenis penyakit
yang semula tidak merupakan masalah, dapat menjadi masalah atau
sebaliknya.
Pergeseran pola penyakit (transisi
epidemologi) ini memiliki kaitan erat dengan perkembangan dan
pertumbuhan sosial-ekonomi sebuah negara. Begitu pula dengan Indonesia.
Terjadinya distribusi pembangunan yang tidak merata di masa lalu menjadi
faktor utama yang turut mempengaruhi pergeseran pola penyakit. Namun
transisi ini belum selesai. Penyakit infeksi atau menular seperti
tuberkulosa, tifus, kolera, atau disentri masih dialami kelompok
masyarakat yang berada dalam kondisi miskin, kurang gizi, lingkungan
tidak bersih, dan sanitasi yang buruk. Sementara, pada masyarakat yang
telah tercukupi faktor-faktor tersebut, penyakit yang berkembang adalah
jenis penyakit-penyakit kronis yang lebih buruk semisal jantung, gula,
ginjal, atau kanker. Tidak tuntasnya pergeseran penyakit itu menyebabkan
Indonesia menghadapi tekanan ganda penyakit (double burden of disease).
Dampak dari transisi epidemologi ini salah satunya adalah meningkatnya
belanja kebutuhan terhadap teknologi medis. Dalam konteks ini, untuk
membicarakan kesehatan pun tak dapat melupakan soal industri yang
bergulat dibelakangnya. Selain mempengaruhi tingginya biaya perawatan
kesehatan, besarnya dorongan modal yang mendukung teknologi-teknologi
tinggi dalam industri kesehatan membuat urusan kesehatan layaknya sebuah
paket imperialisme medik. Hal inilah yang membuat sistem kesehatan bukan
lagi sebuah sistem yang berdiri sendiri, yang hanya mengatur relasi
tenaga medis dengan pasien.
Semakin panjangnya
mata rantai dalam dunia kesehatan ini mengakibatkan sistem kesehatan
yang ada menjadi semakin tidak demokratis. Sistem kesehatan menjadi
sistem yang otoriter dan sulit terjangkau.Permasalahan yang muncul
kemudian, tidak semua lapisan masyarakat mampu mengakses keberadaan
teknologi-teknologi medis itu. Secara tidak langsung, melalui transisi
epidemologi yang dibarengi dengan industrialisasi kesehatan yang semakin
komplek, stratifikasi dalam masyarakat pun terlihat.
Tatkala transisi epidemologi itu terjadi,
ada variabel yang patut dicermati, yakni menyangkut cara pandang
masyarakat sendiri terhadap persoalan kesehatan. Persoalan kesehatan
masih dipandang sebagai bagian yang berdiri sendiri, terpisah dari
sistem yang lain. Keterpisahan kesehatan sebagai sistem yang komplek ini
misalnya saja dapat dilihat dari cara pandang yang terwujud dalam
perilaku-perilaku konsumsi masyarakat, seperti dalam pemilihan terhadap
makanan.”Ketika makanan itu datang dari suatu sistem, mata rantai, pola
hidup yang berbeda, jika ada masalah yang berhubungan dengan rantai
makanan itu, kita terpaksa mengacu pada sistem obat dari luar,” ungkap
P.M Laksono, Ph.D, Staf Peneliti Pusat Studi Asia Pasifik.
Sayangnya, kesadaran akan hal ini tenggelam tatkala pandangan yang
berkembang tentang makanan justru “you are what you eat”.
Seseorang memilih makanan karena diajarkan, bukan karena pemenuhan
kebutuhan fisiologis atau rasa lapar semata. Orang pun mencari
representasi status dalam makanan yang dipilihnya.
Dalam pemisahan sistem kesehatan dengan
sistem lainnya tersebut mengakibatkan masyarakat memberikan kedaulatan
segala urusan kesehatannya ke tangan dokter dan mengakibatkan larisnya
metode kuratif dalam dunia medis. Kesehatan akhirnya hanya dimaknai
sebagai ketiadaan penyakit.
Pandangan bahwa sistem kesehatan ini tak
memiliki ikatan dengan sistem lainnya terut dilanggengkan tatkala dalam
konseptual ilmu kedokteran modern sendiri selama ini tak mampu
menterjemahkan konsep sakit (illnes)dan penyakit (disease).
Sakit merupakan suatu kondisi manusia secara total, utuh menyangkut
aspek fisiologis, psikolgis, dan sosial. Sedangkan penyakit adalah suatu
kondisi bagian tubuh tertentu. Dalam prakteknya, pendekatan yang sering
digunakan dalam dunia medis lebih memberi perhatian pada penyakit itu
sendiri dan melupakan konteks manusia sebagai subjek yang utuh. Ini
mengakibatkan pendekatan yang terjadi lebih menekankan pada aspek
ketidaknormalanbiologis manusia. Tubuh yang sakit dipandang sebagai
mekanisme mesin yang rusak, oleh karena itu perlakuan padanya lebih pada
pendekatan mekanistik. Pasien hanya ditanya bagian tubuh mana yang sakit
dan diberikan obat-obat untuk mengatasi ganguan fungsi tubuhnya itu.
Padahal, seringkali orang merasa sakit tanpa sebab fisiologis namun
lebih pada tekanan pikiran yang mengakibatkan kerentanan tubuhnya.
Namun, metode kuratif ini menjadi pertimbangan masyarakat untuk
memberikan penghargaan pada kinerja profesi medis. Sementara,
elemen-elemen ‘investasi’ yang sifatnya pencegahan tersingkir karena
dalam metode ini aspek-aspek yang menekankan pada pendekatan manusiawi
terabaikan. Inilah yang mengakibatkan masyarakat masuk dalam
ketergantungan medis tanpa dapat mengembangkan pemberdayaan bagi
dirinya.
Objektifikasi masyarakat dalam wacana kesehatan ini terjadi sebagai
akibat terpasungnya informasi wacana kesehatan. Standar kesehatan seakan
mengambang dan tak pernah jelas tatkala tak ada proses demokratisasi
dalam pembentukan wacana kesehatan tersebut. Dalam kegamangan dan rasa
tak aman itu, sistem medis dengan segala perangkat teknologi, informasi,
dan kuasanya tampil untuk mengarahkan dan menegaskan pandangan bahwa
segala urusan kesehatan tepat penyelesaiannya jika berada di tangan
mereka. Dalam kondisi ini, terjadilah mistifikasi sistem kesehatan.
“Sebenarnya sistem kesehatan tidak
menjawab persoalan tetapi dianggap bisa menyelesaikan. Itulah kesadaran
palsu dalam sistem kesehatan modern,” imbuh Laksono. Distorsi
pengetahuan tersebut akhirnya membawa masyarakat berpandangan bahwa
kesehatan hanya menyangkut urusan bebas dari sakit, dan dalam wilayah
itu hanyalah mereka yang memiliki informasi dan teknologi yang berwenang
memberikan penilaian keadaan kesehatan masyarakat. Padahal, urusan
kesehatan ini bukan hanya urusan kecil kimiawi dan mekanik yang hanya
terdapat dalam relasi dokter pasien melainkan dipengaruhi oleh perilaku,
makanan, dan sifat dasar lingkungan alam manusia.
Karena faktor-faktor penentu kesehatan itu
berbeda dari satu kebudayaan ke kebudayaan lainnya, maka tiap kebudayaan
mempunyai penyakit khasnya sendiri. Ketika makanan, perilaku,dan situasi
lingkungan berangsur-angsur berubah, berubah pula pola penyakit itu.
Jadi masalah kesehatan tak sebatas pada aspek fisiologis dan menjadi
wewenang dokter.
Untuk membebaskan masyarakat agar dapat mampu berdaulat atas
kesehatannya, transformasi pengetahuan menjadi syarat yang tak bisa
ditawar lagi. Keseimbangan relasi kuasa dalam penentuan wacana kesehatan
masyarakat tak akan mungkin terwujud ketika transformasi informasi ini
terhambat, bahkan dimanipulasi. Perlu ada gerakan penyadaran pada
masyarakat bahwa kesehatan merupakan sisitem yang utuh, yang menembus
batas fisik sebuah tubuh dan menyentuh ranah-ranah sosial kutural.
Proses penyadaran melalui transformasi
pengetahuan ini dapat terwujud dalam bentuk pendidikan yang memerdekakan
dan demokratis. Bahwa manusia adalah subjek, yang memiki hak penuh atas
kesehatannya. Hak-hak tersebut tak bisa hanya dipasrahkan atau diambil
alih dalam kerangka-kerangka biomedis yang menekankan pada aspek fisik
semata. Ketika kedaulatan atas wacana ini telah terbangun, proses
penginsyafan akan terjadi dan kemandirian kesehatan secara utuh pun
terwujud.(Pribadi Wicaksono)
|