PASTIonline

Edisi 24 Tahun VIII

Februari 2004

 

Laporan Utama

Melalui Kebijakan, Menjamin Keadilan

Akses terhadap kesehatan adalah hak tiap warga negara. Maka, kebijakan yang ada seharusnya mendukung tercapainya hak itu.

Salah satu prasyarat kesejahteraan adalah terpenuhinya kesehatan. Hal itu dapat terjadi sebab jika masyarakat memiliki (mampu menjangkau) akses-akses kesehatannya, produktifitasnya tetap akan berjalan. Sayangnya, (akses) kesehatan layaknya untaian mutiara mewah. Segala yang berhubungan dengan kesehatan seakan makin beranjak dari rengkuh masyarakat. Misalnya saja dalam hal obat.

Kepentingan perusahaan obat untuk mengejar keuntungan dan belum adanya undang-undang yang mengatur mengenai pengelolaan obat pada akhirnya menimbulkan praktek-praktek dari perusahaan obat. Misalnya saja dengan monopoli pasar. Dalam industri farmasi hal ini dapat terlihat misalnya suatu perusahaan memproduksi obat sejenis namun harganya bervariasi. Karena masih rendahnya pengetahuan yang dimiliki, maka masyarakat akan membeli obat yang lebih mahal dengan harapan cepat sembuh. “Diversifikasi harga itu sebenarnya sudah merupakan monopoli, hak-hak konsumen dikikis oleh produsen,” ungkap Drs. Andreas Sukamto M.Si, Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Monopoli itu tak urung membuat biaya obat menjadi mahal. Dalam upaya memenangkan persaingan ini banyak biaya-biaya lain misalnya promosi yang mesti dikeluarkan. Dalam hal ini, biasanya beban promosi ini ditimpakan pada konsumen. Akibatnya obat yang ada semakin jauh dari jangkauan konsumen, terutama masyarakat ekonomi bawah.

Untuk mengantisipasi tingginya biaya kesehatan dalam hal obat ini tak bisa diselesaikan hanya dengan pemberian subsidi saja. Regulasi untuk mengatur pihak pihak yang berperan dalam pelayanan medis pun perlu. “Mekanisme pasar jika dibiarkan berlangsung secara murni akan terjadi monopoli. Oleh sebab itu, mekanisme pasar ini pun harus tetap diatur, misalnya lewat undang-undang anti monopoli. Jika sebuah perusahaan sudah menguasai pasar lebih dari 50%, itu sudah dikatakan monopoli,” imbuh Andreas.

Di Indonesia sendiri sedikitnya terdapat 200-an perusahaan farmasi. Diantaranya hanya ada empat BUMN yang memiliki kewajiban memproduksi obat generik (obat tanpa merek), yang harganya lebih terjangkau masyarakat. Rendahnya harga obat generik ini disebabkan karena dalam produksinya tak memiliki beban promosi seperti obat bermerek. Namun, keuntungan ekonomis yang terwujud melalui rendahnya harga obat generik ini jarang dinikmati masyarakat tatkala masyarakat sendiri tak banyak yang tahu.

Berdasarkan data bagian promosi kesehatan Yogyakarta, sejak generik pertama diluncurkan, tingkat penggunaannya baru mencapai 20%. Tidak diminatinya obat generik ini juga karena masih minimnya wawasan masyarakat tentang obat generik. Anggapan mayoritas yang muncul di masyarakat bahwa harga yang mahal selalu mempunyai kualitas baik. “Setelah diteliti lebih lanjut, obat generik itu bioafibilitasnya lebih tinggi daripada obat brandname Jika bioafibilitasnya lebih tinggi maka cepat diadsorbsi dan cepat berekasi”, tutur Drs. Elvy Effendie M.Si, Kepala Bidang Promosi Kesehatan Dinas Kesehatan Propinsi DIY.

Ketika masyarakat masih menjadi objek dalam aksesnya terhadap obat ini, belum begitu terlihat pihak-pihak yang berusaha membangun kesadaran itu. Lebih parah lagi, dokter yang dalam dunia medis memiliki kewenangan dalam menentukan jenis obat yang mesti dikonsumsi masyarakat pengguna layanan kesehatan, justru larut dalam permainan tersebut. Melalui tangan dokter perusahaan-perusahaan obat mengejar keuntungannya semaksimal mungkin. “Dengan banyaknya perusahaan farmasi di Indonesia, semua ingin hidup. Mereka ingin obat yang diproduksinya ditulis dokter,” imbuh Elvy. Untuk mengantisipasi agar praktek dokter semacam itu tak terjadi pemerintah menetapkan kebijakan penggunaan obat generik ini. “Dalam aturan menteri kesehatan, bagi dokter yang bekerja di rumah sakit pemerintah wajib menuliskan resep dengan nama generik. Jika hal ini tidak dilakukan sanksinya adalah Daftar Penilaian Pegawai Pemerintah (DP3) akan diturunkan,” imbuh Elvy, yang juga Apoteker di Apotek Shinta ini. Namun hal ini menjadi sulit terlaksana ketika jaminan yang diberikan pada dokter sendiri belum begitu memadai. Sehingga, praktek-praktek dispensing (pemberian obat) dokter yang tidak sesuai konteksnya pun tetap terjadi.

Mekanisme dispensing sebenarnya diatur dalam Peraturan Pemerintah no. 1 tahun 1988 Tentang Masa Bakti dan Praktek Dokter dan Dokter Gigi, Bab V mengeani Pembinan dan Pengawasan pasal 12. Dalam pasal ini, disebutkan bahwa dokter dapat melakukan dispensing hanya dalam keadaan darurat dan jika tak tersedia sarana kesehatan atau untuk tujuan menolong. Namun, karena lemahnya prosedur hukum yang ada, praktek-praktek dispensing ini tetap dilakukan meski bukan dalam keadaan darurat dan sarana kesehatan semacam apotik ada dan terjangkau. Selain itu, dalam undang-undang tersebut juga terkandung kebiasan yang membuatnya sering diselewengkan. ”Kata ‘menolong’ dalam undang-undang tersebut sering disalahartikan oleh dokter untuk memberikan obat pada pasien,” tukas Elvy.

Kebiasan yang terdapat dalam undang-undang serta lemahnya prosedur hukum yang ada juga makin mendorong terjadinya praktek-praktek monopoli dalam hal obat. Hal ini tampak dengan maraknya bentuk-bentuk usaha yang menyediakan praktek dokter merangkap apotik. Munculnya Paket Deregulasi Oktober 1993 yang mengatur tentang mekanisme distribusi obat pun tak banyak mempengaruhi praktek-praktek disepensing ini.

Arogansi profesi yang berlatar lemahnya jaminan pun tak dilakukan sebatas dalam praktek penjualan obat, namun juga terwujud bentuk pencarian pasar oleh dokter secara langsung. Artinya, dokter mesti berpraktek tak sesuai dengan bidangnya dengan tujuan mendapatkan konsumen sebanyak-banyaknya. “Ada dokter radiologi yang membuka praktek umum, dokter bedah tapi buka praktek umum. Jadi, semua pasien dilayani. Akibatnya praktek dokter menyerupai hukum rimba,” ujar dr. Riris Andonoachmad M.Ph, Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Upaya untuk mengatur kinerja para tenaga medis sebenarnya sudah dilakukan. Misalnya saja dengan memberlakukan etik bagi seluruh tenaga medis. Bangunan etik itu terwujud misalnya saja dalam sumpah tenaga medis. Bahkan, kewajiban tenaga medis untuk bersumpah pun disahkan lewat Peraturan Pemerintah (PP). Untuk profesi dokter sendiri diatur dalam PP no. 26/1960. Dalam sumpah tersebut tercakup kewajiban-kewajiban dokter seperti membaktikan hidup untuk kepentingan perikemanusian, menjalankan tugas sesuai tradisi luhur jabatan, berpegang teguh pada prinsip prinsip moral walaupun diancam, tidak diskriminasi pada pasien, dan menyimpan rahasia jabatan.

Kewajiban mengabdi pada kepentingan perikemanusiaan menjadi penegas tak dilegalkannya usaha pencarian keuntungan dalam praktek-praktek manipulatif. Hal yang sama pun tertulis dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) yang tertuang dalam bab Kewajiban Umum pasal 3. Dalam pasal itu disebutkan bahwa  “Kerja dokter tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi”. Kewajiban pengabdian pada masyarakat itu juga ditegaskan melalui pasal 8.

Sayangnya bangunan etik ini tak cukup kuat karena menyimpan beberapa kebiasan. Misalnya saja seperti yang tertuang dalam pasal 15 dimana setiap dokter wajib memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana dia ingin diperlakukan. Dalam penjelasannya dipertegas bahwa perlakukan yang dimaksud adalah menjaga kebersamaan, keakraban dan tidak mencemarkan nama baik teman sejawat. Pasal tersebut sering ditafsirkan bahwa hubungan baik antar dokterlah yang harus diutamakan, kritik dianggap sebagai sesuatu yang merusak keharmonisan. “Permasalahan yang muncul justru dokter sangat dilindungi karena dalam kedokteran ada anggapan bahwa kolega harus dilindungi. Jadi dokter harus dilindungi meski ia salah,” ungkap Riris, yang menyelesaikan S2 bidang Kesehatan Masyarakat di Swedia.Tak berjalannya etik atau kebijakan tersebut salah satunya disebabkan karena tak berjalannya fungsi pengawasan. Dalam Peraturan Pemerintah no 1 tahun 1988 Bab V mengenai Pembinaan dan Pengawasan, pasal 11 ditegaskan adanya badan pengawas kerja tenaga medis. Sayang, sampai sekarang gaungnya tak pernah terdengar.

Untuk mengatasi masalah distribusi obat dan juga praktek-praktek medis yang pada akhirnya mengakibatkan makin susahnya akses masyarakat terhadap kesehatan ini, perlu diadakan perbaikan fungsi di segala lini. Perbaikan ini pun tak bisa parsial sifatnya, misalnya saja dari ruang kesehatan saja. Namun, perbaikan komprehensif di segala sektor pun perlu dilakukan. Misalnya saja pembuatan undang-undang anti monopoli, perbaikan fungsi hukum kesehatan, peningkatan jaminan bagi dokter, dan perluasan lapangan kerja. (Yunanto Wiji Utomo)

Baca Juga Rubrik Laporan Utama Lainnya

Pemerataan Kesehatan, Berjalan Timpang ?

Mambangun Kemandirian Masyarakat dalam Wacana Kesehatan

Melalui Kebijakan, Menjamin Keadilan

Box Wawancara

Home Kembali Daftar Isi Kritik & Saran

 

 

© 2003 Webmaster UPM PASTI Universitas Atma Jaya Yogyakarta.