Akses terhadap kesehatan adalah
hak tiap warga negara. Maka, kebijakan yang ada seharusnya mendukung
tercapainya hak itu.
Salah
satu prasyarat kesejahteraan adalah terpenuhinya kesehatan. Hal itu
dapat terjadi sebab jika masyarakat memiliki (mampu menjangkau)
akses-akses kesehatannya, produktifitasnya tetap akan berjalan.
Sayangnya, (akses) kesehatan layaknya untaian mutiara mewah. Segala yang
berhubungan dengan kesehatan seakan makin beranjak dari rengkuh
masyarakat. Misalnya saja dalam hal obat.
Kepentingan perusahaan obat untuk mengejar keuntungan dan belum adanya
undang-undang yang mengatur mengenai pengelolaan obat pada akhirnya
menimbulkan praktek-praktek dari perusahaan obat. Misalnya saja dengan
monopoli pasar. Dalam industri farmasi hal ini dapat terlihat misalnya
suatu perusahaan memproduksi obat sejenis namun harganya bervariasi.
Karena masih rendahnya pengetahuan yang dimiliki, maka masyarakat akan
membeli obat yang lebih mahal dengan harapan cepat sembuh.
“Diversifikasi harga itu sebenarnya sudah merupakan monopoli, hak-hak
konsumen dikikis oleh produsen,” ungkap Drs. Andreas Sukamto M.Si,
Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Monopoli itu tak urung membuat biaya obat
menjadi mahal. Dalam upaya memenangkan persaingan ini banyak biaya-biaya
lain misalnya promosi yang mesti dikeluarkan. Dalam hal ini, biasanya
beban promosi ini ditimpakan pada konsumen. Akibatnya obat yang ada
semakin jauh dari jangkauan konsumen, terutama masyarakat ekonomi bawah.
Untuk mengantisipasi tingginya biaya
kesehatan dalam hal obat ini tak bisa diselesaikan hanya dengan
pemberian subsidi saja. Regulasi untuk mengatur pihak pihak yang
berperan dalam pelayanan medis pun perlu. “Mekanisme pasar jika
dibiarkan berlangsung secara murni akan terjadi monopoli. Oleh sebab itu,
mekanisme pasar ini pun harus tetap diatur, misalnya lewat undang-undang
anti monopoli. Jika sebuah perusahaan sudah menguasai pasar lebih dari
50%, itu sudah dikatakan monopoli,” imbuh Andreas.
Di
Indonesia sendiri sedikitnya terdapat 200-an perusahaan farmasi.
Diantaranya hanya ada empat BUMN yang memiliki kewajiban memproduksi
obat generik (obat tanpa merek), yang harganya lebih terjangkau
masyarakat. Rendahnya harga obat generik ini disebabkan karena dalam
produksinya tak memiliki beban promosi seperti obat bermerek. Namun,
keuntungan ekonomis yang terwujud melalui rendahnya harga obat generik
ini jarang dinikmati masyarakat tatkala masyarakat sendiri tak banyak
yang tahu.
Berdasarkan data bagian promosi kesehatan Yogyakarta, sejak generik
pertama diluncurkan, tingkat penggunaannya baru mencapai 20%. Tidak
diminatinya obat generik ini juga karena masih minimnya wawasan
masyarakat tentang obat generik. Anggapan mayoritas yang muncul di
masyarakat bahwa harga yang mahal selalu mempunyai kualitas baik.
“Setelah diteliti lebih lanjut, obat generik itu bioafibilitasnya lebih
tinggi daripada obat brandname
Jika bioafibilitasnya lebih tinggi maka cepat diadsorbsi dan cepat
berekasi”, tutur Drs. Elvy Effendie M.Si, Kepala Bidang Promosi
Kesehatan Dinas Kesehatan Propinsi DIY.
Ketika masyarakat masih menjadi objek
dalam aksesnya terhadap obat ini, belum begitu terlihat pihak-pihak yang
berusaha membangun kesadaran itu. Lebih parah lagi, dokter yang dalam
dunia medis memiliki kewenangan dalam menentukan jenis obat yang mesti
dikonsumsi masyarakat pengguna layanan kesehatan, justru larut dalam
permainan tersebut. Melalui tangan dokter perusahaan-perusahaan obat
mengejar keuntungannya semaksimal mungkin. “Dengan banyaknya perusahaan
farmasi di Indonesia, semua ingin hidup. Mereka ingin obat yang
diproduksinya ditulis dokter,” imbuh Elvy. Untuk mengantisipasi agar
praktek dokter semacam itu tak terjadi pemerintah menetapkan kebijakan
penggunaan obat generik ini. “Dalam aturan menteri kesehatan, bagi
dokter yang bekerja di rumah sakit pemerintah wajib menuliskan resep
dengan nama generik. Jika hal ini tidak dilakukan sanksinya adalah
Daftar Penilaian Pegawai Pemerintah (DP3) akan diturunkan,” imbuh Elvy,
yang juga Apoteker di Apotek Shinta ini. Namun hal ini menjadi sulit
terlaksana ketika jaminan yang diberikan pada dokter sendiri belum
begitu memadai. Sehingga, praktek-praktek dispensing (pemberian
obat) dokter yang tidak sesuai konteksnya pun tetap terjadi.
Mekanisme dispensing sebenarnya
diatur dalam Peraturan Pemerintah no. 1 tahun 1988 Tentang Masa
Bakti dan Praktek Dokter dan Dokter Gigi, Bab V mengeani Pembinan dan
Pengawasan pasal 12. Dalam pasal ini, disebutkan bahwa dokter dapat
melakukan dispensing hanya dalam keadaan darurat dan jika tak
tersedia sarana kesehatan atau untuk tujuan menolong. Namun, karena
lemahnya prosedur hukum yang ada, praktek-praktek dispensing ini
tetap dilakukan meski bukan dalam keadaan darurat dan sarana kesehatan
semacam apotik ada dan terjangkau. Selain itu, dalam undang-undang
tersebut juga terkandung kebiasan yang membuatnya sering diselewengkan.
”Kata ‘menolong’ dalam undang-undang tersebut sering
disalahartikan oleh dokter untuk memberikan obat pada pasien,” tukas
Elvy.
Kebiasan yang terdapat dalam undang-undang
serta lemahnya prosedur hukum yang ada juga makin mendorong terjadinya
praktek-praktek monopoli dalam hal obat. Hal ini tampak dengan maraknya
bentuk-bentuk usaha yang menyediakan praktek dokter merangkap apotik.
Munculnya Paket Deregulasi Oktober 1993 yang mengatur tentang mekanisme
distribusi obat pun tak banyak mempengaruhi praktek-praktek
disepensing ini.
Arogansi profesi yang berlatar lemahnya jaminan pun tak dilakukan
sebatas dalam praktek penjualan obat, namun juga terwujud bentuk
pencarian pasar oleh dokter secara langsung. Artinya, dokter mesti
berpraktek tak sesuai dengan bidangnya dengan tujuan mendapatkan
konsumen sebanyak-banyaknya. “Ada dokter radiologi yang membuka praktek
umum, dokter bedah tapi buka praktek umum. Jadi, semua pasien dilayani.
Akibatnya praktek dokter menyerupai hukum rimba,” ujar dr.
Riris Andonoachmad M.Ph, Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Masyarakat,
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Upaya untuk mengatur kinerja para tenaga medis sebenarnya sudah
dilakukan. Misalnya saja dengan memberlakukan etik bagi seluruh tenaga
medis. Bangunan etik itu terwujud misalnya saja dalam sumpah tenaga
medis. Bahkan, kewajiban tenaga medis untuk bersumpah pun disahkan lewat
Peraturan Pemerintah (PP). Untuk profesi dokter sendiri diatur dalam PP
no. 26/1960. Dalam sumpah tersebut tercakup kewajiban-kewajiban dokter
seperti membaktikan hidup untuk kepentingan perikemanusian, menjalankan
tugas sesuai tradisi luhur jabatan, berpegang teguh pada prinsip prinsip
moral walaupun diancam, tidak diskriminasi pada pasien, dan menyimpan
rahasia jabatan.
Kewajiban mengabdi pada kepentingan perikemanusiaan menjadi penegas tak
dilegalkannya usaha pencarian keuntungan dalam praktek-praktek
manipulatif. Hal yang sama pun tertulis dalam Kode Etik Kedokteran
Indonesia
(Kodeki) yang tertuang dalam bab Kewajiban Umum pasal 3. Dalam pasal itu
disebutkan bahwa “Kerja dokter tidak boleh dipengaruhi oleh
pertimbangan keuntungan pribadi”. Kewajiban pengabdian pada masyarakat
itu juga ditegaskan melalui pasal 8.
Sayangnya bangunan etik ini tak cukup kuat karena menyimpan beberapa
kebiasan. Misalnya saja seperti yang tertuang dalam pasal 15 dimana
setiap dokter wajib memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana dia ingin
diperlakukan. Dalam penjelasannya dipertegas bahwa perlakukan yang
dimaksud adalah menjaga kebersamaan, keakraban dan tidak mencemarkan
nama baik teman sejawat. Pasal tersebut sering ditafsirkan bahwa
hubungan baik antar dokterlah yang harus diutamakan, kritik dianggap
sebagai sesuatu yang merusak keharmonisan. “Permasalahan yang muncul
justru dokter sangat dilindungi karena dalam kedokteran ada anggapan
bahwa kolega harus dilindungi. Jadi dokter harus dilindungi meski ia
salah,” ungkap Riris, yang menyelesaikan S2 bidang Kesehatan
Masyarakat di Swedia.Tak berjalannya etik atau kebijakan tersebut salah
satunya disebabkan karena tak berjalannya fungsi pengawasan. Dalam
Peraturan Pemerintah no 1 tahun 1988 Bab V mengenai Pembinaan dan
Pengawasan, pasal 11 ditegaskan adanya badan pengawas kerja tenaga medis.
Sayang, sampai sekarang gaungnya tak pernah terdengar.
Untuk mengatasi
masalah distribusi obat dan juga praktek-praktek medis yang pada
akhirnya mengakibatkan makin susahnya akses masyarakat terhadap
kesehatan ini, perlu diadakan perbaikan fungsi di segala lini. Perbaikan
ini pun tak bisa parsial sifatnya, misalnya saja dari ruang kesehatan
saja. Namun, perbaikan komprehensif di segala sektor pun perlu dilakukan.
Misalnya saja pembuatan undang-undang anti monopoli, perbaikan fungsi
hukum kesehatan, peningkatan jaminan bagi dokter, dan perluasan lapangan
kerja. (Yunanto Wiji Utomo)
|