Kesehatan menjadi indikator terwujudnya kesejahteraan bangsa. Oleh sebab
itu, pembangunan pada bidang ini penting dilakukan.
Tidak terdistribusikannya hasil-hasil
pembangunan yang diperoleh selama ini mengakibatkan terjadinya
ketimpangan di berbagai bidang. Salah satu ketimpangan yang paling
mencolok adalah masih belum terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat,
seperti sandang, pangan, dan papan secara merata. Ketika kebutuhan dasar
masyarakat tersebut tak tercukupi, salah satu akibatnya adalah tak
kunjung selesainya masalah kesehatan.
Parahnya, ketika masalah dasar yang
menjamin terwujudnya kesehatan masyarakat itu belum terpenuhi, di sisi
lain pemerataan di sektor kesehatan sendiri masih belum mencapai hasil
yang dapat dikatakan maksimal. Krisis ekonomi menyebabkan seluruh
komponen yang ada terkonsentrasi untuk memecahkan persoalan tersebut.
Sektor kesehatan dipandang tidak memiliki kontribusi yang berarti untuk
membantu menyelesaikan permasalahan perekonomian bangsa. Hal ini
menyebabkan terpinggirnya pembangunan di sektor kesehatan.
Terpinggirnya sektor kesehatan ini tampak
dari minimnya alokasi anggaran yang disediakan. Sektor kesehatan
seringkali kurang mendapatkan prioritas dalam proses politik menyangkut
kebijakan anggaran. “Selama ini pemerintah memandang sektor kesehatan
hanya dari sisi atau peran sosial saja. Salah kaprah inilah yang
kemudian menyebabkan mutu pelayanan kesehatan menjadi buruk,” ungkap
dr. Mubasyir Hasanbasri, MA., Staf Pengajar Jurusan Ilmu
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
Akibatnya, masalah pemerataaan dalam hal kesehatan pun urung
terselesaikan. Hal ini terlihat masih banyaknya daerah yang belum
memiliki fasilitas-fasilitas pelayananan kesehatan memadai.
Dalam pemerataan kesehatan sendiri,
sebelumnya pemerintah telah melaksanakan program Pusat Kesehatan
Masyarakat (Puskesmas) di tiap kecamatan. Sayangnya, program ini pun
seakan berhenti di tengah jalan ketika dalam pelaksanaanya tak
diimbangi dengan kebijakan yang mengatur distribusi tenaga medis dan
pemerataan pembangunan yang lain. Akibatnya, puskesmas yang rencananya
memberikan kemudahan akses pada masyarakat tak begitu berjalan karena
keterbatasan tenaga medis yang berkenan mengelolanya.
Terbatasnya tanaga medis yang
berkarya di daerah disebabkan lemahnya jaminan bagi tenaga kesehatan.
Lemahnya jaminan itu menunjukkan timpangnya kebijakan pemerintah
terhadap profesi medis. Di satu sisi, tenaga medis ini mesti membayar
mahal biaya pendidikan dan selanjutnya mereka diwajibkan melakukan kerja
sosial. “Pendidikan kesehatan kita itu sudah terindustrialisasi sehingga
biayanya mahal. Tapi pelayanan kesehatan yang diharapkan sifatnya masih
sosial. Kalau pendidikan kedokteran itu gratis, tak apa-apa, setelah
lulus kerja sosial,” imbuh Mubasyir.
Dalam
mengatasi masalah pemerataan kesehatan tersebut, pemerintah pun berbagi
peran dengan sektor swasta. Sayangnya, kerja sama dengan sektor swasta
juga tak mampu untuk menjawab masalah pemerataan yang diharapkan. Hal
ini disebabkan karena dalam kerja sama tersebut tak didukung dengan
regulasi-regulasi yang jelas untuk mengaturnya. Sektor swasta pun hanya
berkenan untuk membuka pelayanan kesehatan di daerah yang menjadi
pusat-pusat pembangunan. Cita-cita terwujudnya pemerataan itu justru
melahirkan kesenjangan kesehatan yang makin tajam.
Konsentrasi fasilitas layanan swasta lebih menyukai ‘lahan basah’ yang
menjadi pusat pembangunan karena pendapatan rata-rata di daerah ini
relatif lebih tinggi. Tingginya tingkat pendapatan tersebut akan
mempengaruhi pula faktor permintaan masyarakat akan layanan kesehatan.
Dalam kondisi seperti ini, sektor swasta dapat melakukan diversifikasi
penawaran kepada konsumen. Hal ini, misalnya saja terwujud dalam
berbagai kategorisasi layanan di rumah sakit seperti fasilitas kelas
satu, kelas dua, dan sebagainya.
Ketika
fungsi pemerintah sebagai regulator yang mengatur dan mengawasi kinerja
sektor swasta tersebut ini masih lemah, dalam prakteknya sektor swasta
lebih memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang secara ekonomi lebih
terdukung. Hal ini tak lain disebabkan karena dalam pengelolaan layanan
kesehatan itu sektor swasta pun juga berpegang pada prinsip-prinsip
ekonomi. Penyediaan fasilitas-fasilitas yang kiranya mampu menghasilkan
keuntungan maksimal pun lebih dominan. Fasilitas ini merupakan fasilitas
yang standar atau lengkap, yang biasanya menjadi pilihan masyarakat
ekonomi menengah ke atas.
“Bangsal
ekonomi di rumah sakit swasta itu sangat kecil. Biasanya hanya ada satu
atau dua bangsal. Untuk masuk ke bangsal itu juga sangat sulit, karena
prosedurnya banyak sekali,” tutur V. Sundari Handoko, S.Sos., M.Si.,
Staf Pengajar Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik,
Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Dari hal ini tampak bahwa masalah
pemerataan layanan kesehatan masih menjadi pokok persoalan masyarakat.
Untuk mengatasi keterbatasan akses
kesehatan tersebut, pemerintah berusaha menjamin layanan kesehatan itu
melalui berbagai macam bentuk. Salah satunya melalui penyediaan asuransi
kesehatan bagi masyarakat. Sayangnya, kebijakan-kebijakan asuransi
semacam Jaringan Pengamanan Kesehatan Masyarakat (JPKM) atau pun
sejenisnya terkesan masih setengah-setengah dalam pelaksanaannya. Konsep
asuransi semacam ini hanya mampu menjawab kebutuhan kesehatan dasar atau
bagi penanggulangan penyakit-penyakit ringan saja. Sementara, jika
menyangkut penyakit yang membutuhkan penanganan medis kompleks, jaminan
tersebut tidak berlaku lagi.
Keterbatasan jangkauan asuransi ini
disebabkan ketika dana yang disediakan pemerintah sendiri sangat
terbatas. Dana yang terbatas itu dialokasikan tanpa menyesuaikan dengan
jumlah masyarakat yang kurang mampu. Jadi besarnya dana yang didapatkan
masyarakat tak mampu adalah besarnya dana yang dialokasikan dibagi
dengan jumlah mereka. Semakin besar masyarakat tak mampu semakin sedikit
pula jaminan yang mereka peroleh. “ Jika masyarakat yang miskin
bertambah banyak, dengan sendirinya jaminan itu perlu juga dibagi
banyak,” tutur Drs. Elvy Effendie, M.Si., Kepala
Bagian Promosi Kesehatan Dinas Kesehatan Propinsi DIY. Melihat kondisi
Indonesia sendiri, dengan tingkat pengangguran yang pada tahun 2002 lalu
bertambah sebesar 9,05 persen, pertumbuhan ekonomi yang masih rendah,
serta belum meratanya distribusi pendapatan sulit membayangkan bahwa
masyarakat tak mampu akan mendapatkan jaminan memadai. Lebih parah lagi,
ketika jaminan itu sudah terbatas, pemberiannya pun tidak tepat pada
sasaran karena lemahnya kontrol pendataan dalam mekanisme kerjanya.
Kompleksitas permasalahan yang dihadapi
masyarakat dalam hubungannya untuk memperoleh akses kesehatan bukan
hanya berasal dari tingginya biaya perawatan medis, namun juga
disebabkan semakin mahalnya obat-obatan yang dibutuhkan. Salah satu
sebab tingginya biaya obat tersebut adalah sebagian besar bahan baku
dari obat-obatan yang diperjualbelikan merupakan barang impor.
Mahalnya biaya tersebut makin tampak
ketika pengelolaan obat ini dipegang oleh industri-industri swasta.
Adanya kebutuhan promosi yang tinggi merupakan salah satu upaya swasta
agar dapat malanjutkan aktifitas produksinya. Kebutuhan promosi inilah
yang menyebabkan ketika obat itu sampai konsumen harganya telah menjadi
berlipat-lipat.
Banyaknya perusahaan obat yang ada di
Indonesia, khususnya swasta, menambah maraknya ragam persoalan obat yang
tercermin melalui persaingan-persaingan yang terjadi. Sayangnya, dalam
memenangkan persaingan dalam penjualan obat tersebut, perusahaan
memanfaatkan tenaga dokter sebagai perantara agar produksi obatnya
mendapatkan pasar. Sebagai imbalan atas jasa tersebut, dokter
mendapatkan insentif. “Pabrik-pabrik farmasi yang ada saling berebut
pasar. Dalam persaingan itu mereka saling berlomba mempengaruhi dokter
agar mau menuliskan obatnya di resep,” tutur Drs. Sulasmono, Apt.,
Ketua Program Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.
Padahal, praktek-praktek semacam itu jelas
sekali ditegaskan dalam Undang-Undang No 8 tahun 1999 pasal 13 (2)
mengenai perlindungan konsumen. Dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang
menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan obat, obat tradisional,
suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan
cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan atau jasa.
Namun, ketika jaminan kesejahteraan yang
dimiliki dokter sendiri masih lemah, pada perjalanannya seringkali
berhasil dipengaruhi oleh perusahaan-perusahaan obat itu. Dalam kondisi
ini dokter pun akhirnya menjadi salah satu kunci alat kekuasaan
perusahaan-perusahaan obat untuk mencapai kepentingannya. Pertimbangan
pelayanan yang berorientasi pada pasien pun luntur dan tergantikan oleh
motif-motif ekonomi.
Mekanisme jalur distribusi obat bermula
dari produsen, pedagang besar farmasi, instalasi rumah sakit, dan
berakhir ke apotek atau toko obat. Jadi dokter dilarang bersinggungan
langsung dengan obat. Ia tidak boleh meracik obat sendiri, dan
memberikannya (dispensing) kepada pasien.
Hal yang mendukung terjadinya kolusi
dokter dengan perusahaan obat ini, salah satunya, ketika kebijakan yang
mengatur tentang praktek dokter sendiri masih sangat terbatas. Di rumah
sakit, terutama milik pemerintah, dokter wajib menulis nama generik
suatu obat dalam resepnya. Hal ini lebih menjamin dokter untuk tidak
memberikan obat secara langsung atau menuliskan obat brandname
yang diproduksi suatu perusahaan kepada pasien. Bahkan, peraturan ini
pun dikuatkan juga dengan sangsi berupa penurunan Daftar Penilaian
Pegawai Pemerintah (DP3) pada dokter.
Namun, kebijakan ini belum cukup karena
masih ada kemungkinan terjadinya praktek semacam itu tatkala dokter
membuka praktek di luar. Misalnya saja, dalam praktek pribadinya. Dalam
hal ini sistem kontrol atau pengawasan terhadap praktek-praktek kolusi
tidak mampu menjangkaunya. Oleh sebab itu, perlu peraturan yang lebih
menyeluruh seperti pembuatan kebijakan sendiri pada praktek-praktek
dokter.
“Untuk memudahkan pengontrolan, seharusnya
bagi dokter yang membuka praktek pribadi itu diberi pajak yang tinggi
agar mereka tetap di rumah sakit. Jika mereka tetap berada di rumah
sakit, kontrolnya akan lebih mudah,” ungkap Drs. Andreas Sukamto,
M.Si., Staf Pengajar Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Atma
Jaya Yogyakarta.
Besarnya kuasa dokter menyebabkan isu
kesehatan di Indonesia masih sangat didominasi dunia kedokteran.
Padahal, sebenarnya dalam sistem kesehatan itu ada tiga komponen pokok
yang berperan. Pertama adalah pasien, keluarganya atau masyarakat, kedua
adalah dokter sebagai pemberi pelayanan kesehatan, dan ketiga biasanya
pemerintah atau asuransi. “Kesehatan di Indonesia itu informasinya masih
dikuasai oleh orang-orang kedokteran. Hal ini menyebabkan tidak adanya
kritik terhadap sektor kesehatan. Jadi problem kesehatan di Indonesia
adalah tidak seimbangnya hubungan dokter, pasien, dan pihak ketiga yang
seharusnya mengendalikan hubungan antara keduanya,” tutur Mubasyir.
|