PASTIonline

Edisi 24 Tahun VIII

Februari 2004

 

Laporan Utama

"Menjenguk Kesehatan Kita"

Kesehatan menjadi indikator terwujudnya kesejahteraan bangsa. Oleh sebab itu, pembangunan pada bidang ini penting dilakukan.

Tidak terdistribusikannya hasil-hasil pembangunan yang diperoleh selama ini mengakibatkan terjadinya ketimpangan di berbagai bidang. Salah satu ketimpangan yang paling mencolok adalah masih belum terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat, seperti sandang, pangan, dan papan secara merata. Ketika kebutuhan dasar masyarakat tersebut tak tercukupi, salah satu akibatnya adalah tak kunjung selesainya masalah kesehatan.

Parahnya, ketika masalah dasar yang menjamin terwujudnya kesehatan masyarakat itu belum terpenuhi, di sisi lain pemerataan di sektor kesehatan sendiri masih belum mencapai hasil yang dapat dikatakan maksimal. Krisis ekonomi menyebabkan seluruh komponen yang ada terkonsentrasi untuk memecahkan persoalan tersebut. Sektor kesehatan dipandang tidak memiliki kontribusi yang berarti untuk membantu menyelesaikan permasalahan perekonomian bangsa. Hal ini menyebabkan terpinggirnya pembangunan di sektor kesehatan.

Terpinggirnya sektor kesehatan ini tampak dari minimnya alokasi anggaran yang disediakan. Sektor kesehatan seringkali kurang mendapatkan prioritas dalam proses politik menyangkut kebijakan anggaran. “Selama ini pemerintah memandang sektor kesehatan hanya dari sisi atau peran sosial saja. Salah kaprah inilah yang kemudian menyebabkan mutu pelayanan kesehatan menjadi buruk,” ungkap dr. Mubasyir Hasanbasri, MA., Staf Pengajar Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Akibatnya, masalah pemerataaan dalam hal kesehatan pun urung terselesaikan. Hal ini terlihat masih banyaknya daerah yang belum memiliki fasilitas-fasilitas pelayananan kesehatan memadai.

Dalam pemerataan kesehatan sendiri, sebelumnya pemerintah telah melaksanakan program Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di tiap kecamatan. Sayangnya, program ini pun seakan berhenti di tengah jalan ketika dalam pelaksanaanya tak diimbangi  dengan kebijakan yang mengatur distribusi tenaga medis dan pemerataan pembangunan yang lain. Akibatnya, puskesmas yang rencananya memberikan kemudahan akses pada masyarakat tak begitu berjalan karena keterbatasan tenaga medis yang berkenan mengelolanya.

          Terbatasnya tanaga medis yang berkarya di daerah disebabkan lemahnya jaminan bagi tenaga kesehatan. Lemahnya jaminan itu menunjukkan timpangnya kebijakan pemerintah terhadap profesi medis. Di satu sisi, tenaga medis ini mesti membayar mahal biaya pendidikan dan selanjutnya mereka diwajibkan melakukan kerja sosial. “Pendidikan kesehatan kita itu sudah terindustrialisasi sehingga biayanya mahal. Tapi pelayanan kesehatan yang diharapkan sifatnya masih sosial. Kalau pendidikan kedokteran itu gratis, tak apa-apa, setelah lulus kerja sosial,” imbuh Mubasyir.

Dalam mengatasi masalah pemerataan kesehatan tersebut, pemerintah pun berbagi peran dengan sektor swasta. Sayangnya, kerja sama dengan sektor swasta juga tak mampu untuk menjawab masalah pemerataan yang diharapkan. Hal ini disebabkan karena dalam kerja sama tersebut tak didukung dengan regulasi-regulasi yang jelas untuk mengaturnya. Sektor swasta pun hanya berkenan untuk membuka pelayanan kesehatan di daerah yang menjadi pusat-pusat pembangunan. Cita-cita terwujudnya pemerataan itu justru melahirkan kesenjangan kesehatan yang makin tajam.

Konsentrasi fasilitas layanan swasta lebih menyukai ‘lahan basah’ yang menjadi pusat pembangunan karena pendapatan rata-rata di daerah ini relatif lebih tinggi. Tingginya tingkat pendapatan tersebut akan mempengaruhi pula faktor permintaan masyarakat akan layanan kesehatan. Dalam kondisi seperti ini, sektor swasta dapat melakukan diversifikasi penawaran kepada konsumen. Hal ini, misalnya saja terwujud dalam berbagai kategorisasi layanan di rumah sakit seperti fasilitas kelas satu, kelas dua, dan sebagainya.

Ketika fungsi pemerintah sebagai regulator yang mengatur dan mengawasi kinerja sektor swasta tersebut ini masih lemah, dalam prakteknya sektor swasta lebih memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang secara ekonomi lebih terdukung. Hal ini tak lain disebabkan karena dalam pengelolaan layanan kesehatan itu sektor swasta pun juga berpegang pada prinsip-prinsip ekonomi. Penyediaan fasilitas-fasilitas yang kiranya mampu menghasilkan keuntungan maksimal pun lebih dominan. Fasilitas ini merupakan fasilitas yang standar atau lengkap, yang biasanya menjadi pilihan masyarakat ekonomi menengah ke atas.

“Bangsal ekonomi di rumah sakit swasta itu sangat kecil. Biasanya hanya ada satu atau dua bangsal. Untuk masuk ke bangsal itu juga sangat sulit, karena prosedurnya banyak sekali,” tutur V. Sundari Handoko, S.Sos., M.Si., Staf Pengajar Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Dari hal ini tampak bahwa masalah pemerataan layanan kesehatan masih menjadi pokok persoalan masyarakat.

Untuk mengatasi keterbatasan akses kesehatan tersebut, pemerintah berusaha menjamin layanan kesehatan itu melalui berbagai macam bentuk. Salah satunya melalui penyediaan asuransi kesehatan bagi masyarakat. Sayangnya, kebijakan-kebijakan asuransi semacam Jaringan Pengamanan Kesehatan Masyarakat (JPKM) atau pun sejenisnya terkesan masih setengah-setengah dalam pelaksanaannya. Konsep asuransi semacam ini hanya mampu menjawab kebutuhan kesehatan dasar atau bagi penanggulangan penyakit-penyakit ringan saja. Sementara, jika menyangkut penyakit yang membutuhkan penanganan medis kompleks, jaminan tersebut tidak berlaku lagi.

Keterbatasan jangkauan asuransi ini disebabkan ketika dana yang disediakan pemerintah sendiri sangat terbatas. Dana yang terbatas itu dialokasikan tanpa menyesuaikan dengan jumlah masyarakat yang kurang mampu. Jadi besarnya dana yang didapatkan masyarakat tak mampu adalah besarnya dana yang dialokasikan dibagi dengan jumlah mereka. Semakin besar masyarakat tak mampu semakin sedikit pula jaminan yang mereka peroleh. “ Jika masyarakat yang miskin bertambah banyak, dengan sendirinya jaminan itu perlu juga dibagi banyak,” tutur Drs. Elvy Effendie, M.Si., Kepala Bagian Promosi Kesehatan Dinas Kesehatan Propinsi DIY. Melihat kondisi Indonesia sendiri, dengan tingkat pengangguran yang pada tahun 2002 lalu bertambah sebesar 9,05 persen, pertumbuhan ekonomi yang masih rendah, serta belum meratanya distribusi pendapatan sulit membayangkan bahwa masyarakat tak mampu akan mendapatkan jaminan memadai. Lebih parah lagi, ketika jaminan itu sudah terbatas, pemberiannya pun tidak tepat pada sasaran karena lemahnya kontrol pendataan dalam mekanisme kerjanya.

Kompleksitas permasalahan yang dihadapi masyarakat dalam hubungannya untuk memperoleh akses kesehatan bukan hanya berasal dari tingginya biaya perawatan medis, namun juga disebabkan semakin mahalnya obat-obatan yang dibutuhkan. Salah satu sebab tingginya biaya obat tersebut adalah sebagian besar bahan baku dari obat-obatan yang diperjualbelikan merupakan barang impor.

Mahalnya biaya tersebut makin tampak ketika pengelolaan obat ini dipegang oleh industri-industri swasta. Adanya kebutuhan promosi yang tinggi merupakan salah satu upaya swasta agar dapat malanjutkan aktifitas produksinya. Kebutuhan promosi inilah yang menyebabkan ketika obat itu sampai konsumen harganya telah menjadi berlipat-lipat.

Banyaknya perusahaan obat yang ada di Indonesia, khususnya swasta, menambah maraknya ragam persoalan obat yang tercermin melalui persaingan-persaingan yang terjadi. Sayangnya, dalam memenangkan persaingan dalam penjualan obat tersebut, perusahaan memanfaatkan tenaga dokter sebagai perantara agar produksi obatnya mendapatkan pasar. Sebagai imbalan atas jasa tersebut, dokter mendapatkan insentif. “Pabrik-pabrik farmasi yang ada saling berebut pasar. Dalam persaingan itu mereka saling berlomba mempengaruhi dokter agar mau menuliskan obatnya di resep,” tutur Drs. Sulasmono, Apt., Ketua Program Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Padahal, praktek-praktek semacam itu jelas sekali ditegaskan dalam Undang-Undang No 8 tahun 1999 pasal 13 (2) mengenai perlindungan konsumen. Dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan atau jasa.

Namun, ketika jaminan kesejahteraan yang dimiliki dokter sendiri masih lemah, pada perjalanannya seringkali berhasil dipengaruhi oleh perusahaan-perusahaan obat itu. Dalam kondisi ini dokter pun akhirnya menjadi salah satu kunci alat kekuasaan perusahaan-perusahaan obat untuk mencapai kepentingannya. Pertimbangan pelayanan yang berorientasi pada pasien pun luntur dan tergantikan oleh motif-motif ekonomi.

Mekanisme jalur distribusi obat bermula dari produsen, pedagang besar farmasi, instalasi rumah sakit, dan berakhir ke apotek atau toko obat. Jadi dokter dilarang bersinggungan langsung dengan obat. Ia tidak boleh meracik obat sendiri, dan memberikannya (dispensing) kepada pasien.

Hal yang mendukung terjadinya kolusi dokter dengan perusahaan obat ini, salah satunya, ketika kebijakan yang mengatur tentang praktek dokter sendiri masih sangat terbatas. Di rumah sakit, terutama milik pemerintah, dokter wajib menulis nama generik suatu obat dalam resepnya. Hal ini lebih menjamin dokter untuk tidak memberikan obat secara langsung atau menuliskan obat brandname yang diproduksi suatu perusahaan kepada pasien. Bahkan, peraturan ini pun dikuatkan juga dengan sangsi berupa penurunan Daftar Penilaian Pegawai Pemerintah (DP3) pada dokter.

Namun, kebijakan ini belum cukup karena masih ada kemungkinan terjadinya praktek semacam itu tatkala dokter membuka praktek di luar. Misalnya saja, dalam praktek pribadinya. Dalam hal ini sistem kontrol atau pengawasan terhadap praktek-praktek kolusi tidak mampu menjangkaunya. Oleh sebab itu, perlu peraturan yang lebih menyeluruh seperti pembuatan kebijakan sendiri pada praktek-praktek dokter.

“Untuk memudahkan pengontrolan, seharusnya bagi dokter yang membuka praktek pribadi itu diberi pajak yang tinggi agar mereka tetap di rumah sakit. Jika mereka tetap berada di rumah sakit, kontrolnya akan lebih mudah,” ungkap Drs. Andreas Sukamto, M.Si., Staf Pengajar Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Besarnya kuasa dokter menyebabkan isu kesehatan di Indonesia masih sangat didominasi dunia kedokteran. Padahal, sebenarnya dalam sistem kesehatan itu ada tiga komponen pokok yang berperan. Pertama adalah pasien, keluarganya atau masyarakat, kedua adalah dokter sebagai pemberi pelayanan kesehatan, dan ketiga biasanya pemerintah atau asuransi. “Kesehatan di Indonesia itu informasinya masih dikuasai oleh orang-orang kedokteran. Hal ini menyebabkan tidak adanya kritik terhadap sektor kesehatan. Jadi problem kesehatan di Indonesia adalah tidak seimbangnya hubungan dokter, pasien, dan pihak ketiga yang seharusnya mengendalikan hubungan antara keduanya,” tutur Mubasyir.

Halaman berikutnya...

© 2003 Webmaster UPM PASTI Universitas Atma Jaya Yogyakarta.