|
Kupas Buku |
Wacana Publik Indonesia dan Tragedi Konstruksi Ketika publik Indonesia diibaratkan sebagai sebuah keluarga yang di dalamnya tiap individu harus menerima posisinya dengan sikap pasrah dan “sendhika dawuh”, hasilnya masyarakat kurang menyadari arti penting kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebuah negara yang sedang tumbuh dan berkembang akan berusaha mencari dan membentuk jati diri masyarakatnya sesuai visi misi dan tujuan negara tersebut. Pun, pembentukan itu tidak akan secepat dan semudah membalikkan telapak tangan. Perlu waktu yang lama dan upaya berkesinambungan di berbagai bidang. Namun, dalam sejarah pembentukan wacana tersebut, telah terjadi pemanipulasian di Indonesia, terutama pada masa Orde Baru. Meski tujuan manipulasi itu klise, yakni meligitimasi otoritas penguasa, namun masyarakat Indonesia tetap terkena dampaknya. Masyarakat menjadi tidak peka, dan bahkan melupakan realitas sosial sekitarnya, seperti penegakan hukum, penjagaan lingkungan, tuntutan emansipasi, atau isu-isu sosial lainnya. Hal itu dapat kita lihat melalui perbincangan masyarakat, baik di sekitar ataupun dalam media yang sehari-hari hanya berkisar mengenai gaya hidup, olahraga, entertainment, dan mode-mode sesaat. Masyarakat seolah telah tenggelam bersama dunia khayalnya. Tak ada lagi pembicaraan-pembicaran yang ideologis mengenai keadaan sekitarnya. Lebih ironis lagi, ketika masyarakat berpikir bahwa permasalahan sosial di sekitarnya itu adalah persoalan yang mesti diselesaikan oleh para elit pemerintah, bukan menjadi tugas yang mesti dipikul bersama. Jika mentalitas masyarakat telah demikian, mungkinkah pertumbuhan dan perkembangan negara ini dapat tercapai? *** Merunut sejenak wacana yang telah terbentuk sedikit demi sedikit dan kemudian melekat pada diri masyarakat Indonesia saat ini. Hilangnya daya kritis dan kepekaan sosial tersebut memang bukan lahir dengan sendirinya melainkan hasil konstruksi dalam berbagai bidang. Niels Mulder, penulis buku ini, pada bab I mencoba menyoroti dunia pendidikan sebagai lahan yang cukup potensial dalam konstruksi wacana masyarakat Indonesia. Semula sorotan pada dunia pendidikan itu ditujukan pada tingkatan Sekolah Dasar (SD). Tingkatan ini merupakan awal atau dasar dari pembentukan wacana seorang anak (sebagai anggota masyarakat) dalam melihat diri, lingkungan, masyarakat, dan negaranya. Perhatian utama tercurah pada tiga mata pelajaran yang dinilai sangat menentukan pembentukan cara berpikir anak-anak, yakni Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), Kewarganegaraan, dan Sejarah. Persoalan mendasar dari ketiga objek pelajaran tersebut terletak pada teks-teksnya yang cenderung bersifat sangat teoritis. Hal ini mengakibatkan para murid terpisah dari lingkup sekitarnya yang sangat kompleks dengan berbagai kondisi. Misalnya saja dalam mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan. Dalam pelajaran tersebut dalam pemikiran para murid coba ditanamkan sebuah ideologi bahwa keselarasan dan keharmonisan itu akan tercapai apabila setiap individu mau bersikap menahan dan mengendalikan diri, serta mengalah pada masyarakat mayoritas. Individu dianggap mempunyai potensi-potensi yang akan mengacaukan tatanan yang sudah ada, maka ia harus dijinakkan dengan cara harus tunduk pada masyarakat (mayoritas) yang ada. Akan sangat baik hasilnya apabila masyarakat yang ‘banyak’ itu telah mengetahui dan menyadari tentang hal yang seharusnya berlaku dalam kehidupan bersama mereka. Namun, akan menjadi sesuatu yang menyedihkan jika ternyata masyarakat mayoritas tersebut telah tunduk oleh rezim yang hanya mementingkan kekuasaannya saja. Hal ini menyebabkan hak, kreativitas, dan potensi kritis yang tertanam pada setiap individu tidak akan tumbuh. Kenyataan ini membawa konsekuensi tatkala individu yang menyadari dan mengekspresikan kebenaran yang semestinya, maka ia akan dianggap sebagai pembangkang yang mengganggu stabilitas yang telah terbangun. Tinjauan mengenai teks pelajaran itu berlanjut ke tingkat Sekolah Menengah Umum (SMU). Diungkapkan bahwa teks pada pelajaran IPS tidak berkembang namun justru menyempit. Apa yang disajikan dalam pokok pelajaran tersebut terkesan menghindarkan diri dari pemikiran dan pertanyaan yang kritis. Setiap permasalahan tidak diterangkan secara mendalam tetapi hanya sekedar menyentuh permukaan. Misalnya pada bab yang membahas tentang “Dampak Modernisasi dan Pembangunan di Indonesia” dikatakan bahwa pembangunan dan modernisasi mengakibatkan ketidakseimbangan sosial. Perubahan sosial-budaya sukar dihindarkan jika tidak diantisipasi secara individual. Diungkap bahwa pembahasan masalah ini hanya mendekati pengamatan secara struktural saja dan analisis lebih lanjut dihindarkan ketika di daftar masalah lain dalam kehidupan modern muncul, seperti pencemaran, kejahatan, dan kenakalan remaja. Sedangkan dalam mata pelajaran sejarah, yang terjadi hanyalah fakta – fakta yang harus dihapalkan, bukan sebuah proses yang harus dimengerti, dimaknai, atau dikritisi. Hampir serupa dengan apa yang terjadi dalam pelajaran kewarganegaraan, dalam pelajaran sejarah yang terjadi hanya sebuah proses pengulangan. Dikatakan bahwa Indonesia akan terbebas dari permasalahan bila setiap orang telah ‘terdidik’ dan menjadi arif bijaksana. Padahal, keadaan yang tidak diinginkan muncul dari kecenderungan individual, dan tidak ada sangkut-pautnya dengan susunan masyarakat atau lembaga yang ada. Penyebab permasalahan sosial yang muncul tersebut adalah individu-individu, bukan sebuah sistem. Penanaman nilai-nilai yang dianggap benar tersebut dilakukan secara terus-menerus sehingga mengakar dalam diri masyarakat. Pemberontakan dikutuk sebagai penyelewengan pada aturan dan ideologi yang berlaku. Ironisnya, vonis tersebut dilakukan tanpa melihat lebih dalam penyebab serta sistem sosial yang berjalan. Dalam hal ini, Niels Murder mengambil contoh relasi institusi pendidikan yang berperan layaknya sebuah penjara, sementara jerujinya adalah ideologi negara. Sekolah menyerap mentah ideologi yang memisahkan anak didiknya itu dengan realitas yang terjadi dalam masyarakat. Hal ini menyebabkan munculnya pandangan bahwa sekolah telah mengingkari identitas dirinya sebagai ruang yang seharusnya berperan melahirkan generasi-generasi kritis, yang pada akhirnya mampu membawa keadaan menjadi lebih baik dan manusiawi. Sayangnya, sekolah justru tak berdaya dan menjadi mesin produksi sosial bagi kepentingan penguasa dengan cara membuat anak didiknya buta huruf di bidang sosial, politik, dan perikemanusiaan. Tatkala lahirnya generasi kritis tersebut disumbat, sebenarnya masyarakat masih mempunyai harapan, yaitu pada kaum cendekiawan, misalnya Ali Murtopo, Harun Nasution, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, atau Amien Rais. Namun, kaum cerdik-pandai itu pun juga mengalami kebuntuan. Apa yang dapat dikatakan dalam membangun kekritisan publik telah diatur secara represif oleh penguasa yang dalam hal ini diwakili oleh negara. Akibatnya, ruang untuk mencari kebenaran sejati itu semakin jauh. Intelektualitas telah mandul, sementara dorongan dan tuntutan ekonomi sangat mendominasi dan memunculkan semangat individualisme, egois, dan materialistis. Rakyat pun kehilangan teladannya, juga kepercayaannya. Bangunan sikap publik yang kemudian ekstrim atau apatis terhadap situasi sosial yang berkembang itu pun tak lepas dari peran kelompok profesi yang sering diasumsikan sebagai pilar keempat dalam sistem demokrasi, yakni pers. Kelompok yang seharusnya turut membangun mental masyarakat melalui realitas-realitas sosial yang dibingkainya itu pun tak luput dari jamahan penguasa. Dengan dalih mencegah pertentangan dan perpecahan, penguasa membungkam pers. Ada kekhawatiran, bila hal-hal yang menyangkut perbedaan daerah, atau yang sifatnya primordial macam agama, ras, golongan itu naik ke permukaan akan menimbulkan kericuhan dan menganggu stabilitas. Indonesia memang sebuah entitas yang plural. Sayangnya, keragaman tersebut tak pernah mendapatkan tempat selayaknya. Tiap kali muncul persoalan yang mengandung isu primordial, pemerintah segera mendamaikannya secara taktis dan represif. Dalam upaya itu tidak dicari sebab-musabab yang mendasari terjadinya persoalan tersebut. Akibatnya, masyarakat hanya memendam dan memendam tumpukan permasalahan tersebut sampai pada akhirnya menunggu tersulut lagi dan menghasilkan sebuah tragedi bangsa. Buku setebal 329 halaman ini berupaya untuk mengetahui konstruksi wacana publik Indonesia, khususnya sebelum terjadinya kerusuhan–kerusuhan yang melanda Indonesia pasca kejatuhan rezim Soeharto. Ketika kita mengetahui konstruksi tersebut, mungkin pemikiran yang tertuang dalam buku ini dapat menjadi alternatif dalam membangun mentalitas masyarakat yang pada akhirnya menciptakan susunan sosial yang peka, kritis, dan dewasa.(Fransisca Yuli Astuti) |
© 2003 UPM PASTI
Universitas Atma Jaya Yogyakarta. |