|
IPTEK |
Manfaat Limbah Nenas dalam Pembuatan Tempe Meningkatkan produktivitas dengan efisisensi waktu. Nanas merupakan buah yang sangat familiar bagi masyarakat Indonesia. Buah ini banyak dimanfaatkan, baik di tingkat industri maupun rumah tangga. Di bidang industri, nanas digunakan dalam pembuatan sirup, essence minuman fermentasi, selai dan keripik. Sementara, di tingkat rumah tangga, buah ini biasanya dipakai sebagai hidangan penutup dan rujak. Buah asal Brazilia ini memang kaya vitamin A dan C, selain itu juga masih mengandung berbagai zat penting yang dibutuhkan tubuh seperti glukosa, protein, zat besi, fosfor, dan serat. Karenanya, tak mengherankan bila banyak kalangan yang mengkonsumsinya. Selama ini, pemanfaatan nanas terbatas pada daging buahnya saja, sementara kulit dan bonggolnya dibuang. Padahal, kulit dan bonggol nanas tersebut masih memiliki manfaat. Salah satu manfaat tersebut adalah kemampuannya untuk mempercepat proses fermentasi tempe. Untuk melihat fungsi kulit dan bonggol nanas tersebut pada tempe, baiklah kita jabarkan proses pembuatan tempe itu dulu. Pembuatan tempe terbagi dalam beberapa tahap. Pertama adalah tahap pencucian dan perebusan kedelai. Pada tahap ini, kedelai yang menjadi bahan baku tempe dibersihkan. Selanjutnya dilakukan perendaman, agar kedelai menjadi lebih lunak dan lebih asam. Ukuran keasaman itu dapat diamati ketika pada rendaman kedelai sudah timbul lendir. Setelah direndam selama 12 jam, kedelai dicuci dan direbus lagi, lalu diteruskan dengan peragian. Peragian ini biasanya menggunakan jamur Rhizopus oryzae, Rhizopus oligosporus dan Rhizopus stolonifer. Jamur-jamur inilah yang kemudian membentuk benang-benang putih tipis (hifa), yang membungkus kedelai. Saat hifa tersebut menyelimuti seluruh tubuh kedelai, proses pembuatan tempe dikatakan telah mencapai tahap akhir. Kualitas dan kecepatan dalam proses produksi tempe dipengaruhi oleh kondisi fermentasi. Seperti saja pH dan suhunya. Pada kondisi fermentasi yang optimal, metabolisme jamur tempe akan meningkat sehingga proses akan berlangsung lebih cepat dan kualitas tempe yang dihasilkan juga lebih baik. Selain itu, fermentasi tempe juga dipengaruhi oleh kualitas kedelai, jenis jamur tempe yang digunakan. Jenis jamur tempe yang berbeda mempunyai kemampuan aktivitas yang berbeda pula. Untuk menghasilkan tempe secara cepat tentunya dipilih jamur tempe yang kemampuan metabolismenya tinggi. Kendala yang masih sering dihadapi para pengrajin tempe saat ini adalah lamanya proses fermentasi, yaitu sekitar 72 jam. Fermentasi yang lama akan menghambat produktivitas tempe. Secara ekonomis, lambannya produktivitas ini tentunya akan mengurangi penghasilan juga. Nah, untuk meningkatkan produktifitas tersebut dipakai kulit dan bonggol buah nanas. Pemanfaatan kulit dan bonggol nanas dalam fermentasi tempe dapat membantu untuk memecahkan masalah tersebut. Pemanfaatannya berprinsip pada kemampuan kulit dan bonggol nanas untuk membuat suasana asam yang pas bagi pertumbuhan jamur tempe. Suasana asam atau pH yang pas bagi pertumbuhan jamur tempe sendiri berkisar antara 4 sampai 5. Karena untuk mewujudkan suasana asam itu adalah saat perendaman, maka penggunaan kulit dan bonggol nanas juga pada tahap tersebut. Sebelum penggunaan, kulit dan bonggol nanas terlebih dahulu diiris-iris kecil, ditambah air, kemudian diblender. Setiap 300 gram air ditambahkan ekstrak kulit atau bonggol sebanyak 150 gram, atau perbandingannya adalah 2:1. Hasilnya setelah diukur pH untuk ekstrak adalah 4,2 bonggol dan untuk ekstrak kulit adalah 3,2. Hasil blenderan kulit atau bonggol nanas tersebut masih perlu ditambahkan air lagi agar tidak terlalu asam. Perbandingan air yang ditambahkan dengan jumlah ekstrak kulit atau bonggol nanas berperan penting. Hal ini disebabkan ekstrak tersebut akan menentukan tingkat keasaman air rendamannya. Bila air terlalu banyak, pH justru akan mendekati netral. Sebaliknya, bila ekstrak kulit atau bonggol terlalu banyak maka air rendaman akan sangat asam. Kondisi yang terlalu asam atau mendekati netral ini justru akan menghambat aktivitas jamur tempe. Perbandingan yang paling ideal dalam penambahan air adalah 1:1 atau 3:1. Dengan perbandingan tersebut, pH air rendaman adalah antara 4 sampai 5 atau keasaman optimum untuk pertumbuhan jamur tempe. Penambahan 150 ml air dengan 50 ml ekstrak kulit (3:1) misalnya, memperoleh pH 4,5. Bila air dan ekstrak kulit sama besar 100 ml (1:1), akan diperoleh pH 4. Sementara, penambahan ekstrak bonggol dengan air dengan jumlah sama, 100 ml, akan diperoleh pH sebesar 5. Dan bila airnya 150 ml dan ekstrak bonggol 50 ml, pH yang diperoleh juga lima. Perendaman kedelai dengan penambahan ekstrak kulit atau bonggol nanas tersebut terbukti lebih mampu meningkatkan keasaman. Bila direndam dengan air biasa seperti yang dilakukan banyak pengrajin tempe sekarang, pH hanya turun hingga 6,5. Karena keasaman tersebut tidak pas dengan kondisi yang dibutuhkan jamur tempe, maka fermentasi pun berlangsung lama. Dengan penambahan ekstrak kulit atau bonggol nanas, fermentasi tempe berlangsung lebih singkat. Pada penambahan ekstrak kulit dengan perbandingan 1:1, waktu fermentasi dapat dipersingkat hingga 42 jam. Sementara, dengan perbandingan 3:1, waktu fermentasi yang dibutuhkan menjadi 45 jam. Penambahan ekstrak bonggol memberi pengaruh lebih hebat lagi. Dengan perbandingan 1:1, waktu fermentasi berkurang hingga 35 jam. Sementara dengan perbandingan 3:1, pengurangan dapat mencapai 37 jam. Rasa yang dihasilkan oleh tempe yang kedelainya direndam dengan ekstrak kulit atau bonggol nanas tak menunjukkan perbedaan. Artinya, kualitas tempe tak banyak terpengaruh oleh penambahan ekstrak kulit atau bonggol nanas. Dalam kaitan dengan fisik tempe, ada beberapa perbedaan yang dihasilkan jika ditambahkan ekstrak bonggol atau kulit nanas. Selain lebih mampu mempercepat proses fermentasi, penambahan ekstrak bonggol juga tidak mengakibatkan perubahan pada warna tempe, tetap berwarna putih bersih. Namun bila memakai ekstrak kulit, warna tempe menjadi lebih kusam. Pemanfaatan ekstrak bonggol atau kulit nanas pada proses pembuatan tempe tidak terbatas pada teknik penggunaan limbah, tapi juga merupakan upaya peningkatan metode yang memberikan nilai ekonomi lebih baik bagi masyarakat. Dengan waktu pembuatan yang relatif lebih singkat, masyarakat pedagang tempe akan lebih leluasa membagi waktu untuk menambah intensitas produksinya. (Desro Andry) |
© 2003 UPM PASTI
Universitas Atma Jaya Yogyakarta. |