|
Gaung |
Detak Pedagang Buku Gondomanan
Citra Kota Pendidikan
belum luntur dari tubuh Yogyakarta hingga detik ini. Citra itu tak hanya
ditunjukkan dengan banyaknya institusi pendidikan di kota ini. Banyaknya
titik yang menjadi aktivitas jual-beli buku di kota ini pun turut menguatkan
citra tersebut. Jalan Brigjend Katamso adalah salah satu dari titik-titik itu. Berjalan ke utara dari perempatan jalan yang lebih dikenal dengan nama Jalan Gondomanan, tepatnya di depan SMP Immaculata Yogyakarta., berderet kios-kios buku. Dulunya, tempat ini sering dipakai Sultan Hamengku Buwono IX beristirahat “Tempat ini dulu pesanggarahan Sri Sultan setiap sore setelah jalan-jalan dengan anak-anaknya. Sekedar minum atau makan,” ujar FX. Dwiharyo, pemilik kios “Sendang Sono”. Sebelum mangkal di jalan Gondomanan, para pedagang buku ini seringkali berpindah-pindah. Shopping, pusat jual-beli buku lain di kota Yogyakarta yang hanya berjarak beberapa meter dari jalan Gondomanan, menjadi tempat awal bernaung bagi para pedagang buku ini. Tapi ketika kawasan ini dirasa makin sesak, mereka pun pindah. Lokasi yang sekarang inilah yang kemudian menjadi pilihan akhir. Sentra buku yang tersebar di Yogyakarta memang rata-rata tidak hanya sekali bergerak dari suatu lokasi saja. Mereka biasanya telah beberapa kali berpindah. Namun, asal mula sentra-sentra yang ada saat ini sebenarnya berasal dari satu tempat “Dari saya bantu bapak itu sudah pindah-pindah. Semula di alun-alun selatan, lalu pindah ke shopping, baru kemudian ke sini,” tukas Veronica Suprihatin, pemilik toko buku MS. Atas ijin dari Sultan HB IX, jalan Gondomanan yang awalnya adalah tempat pembuangan sampah, akhirnya digunakan sebagai tempat berdagang mereka. Sadirin – selaku Mantri Pamong Praja Gondomanan tahun 1961 saat itu – turut meresmikan terbentuknya kawasan ini. Daerah kumuh yang kurang menjadi perhatian banyak orang itu akhirnya berubah menjadi kawasan buku. Dari sembilan kios yang menghuni kawasan itu, tujuh diantaranya dimanfaatkan sebagai kios buku dan sisanya digunakan sebagai usaha servis jok motor. Kios-kios tersebut menjadi tumpuan dari para pedagang dalam mencukupi kebutuhan keluarganya. Ketertarikan pembeli ke kios mereka pun menjadi bagian vital. Sehingga diperlukan ketelitian untuk menarik minat pembeli. “Untuk berjualan di sini diperlukan keterampilan dan ketelatenan. Kita harus tahu, buku mana yang laku di pasaran dan yang tidak,” tutur Suprihatin. Aneka buku dan majalah ditawarkan bagi kebutuhan pengguna jasa media cetak. Mulai dari yang bekas hingga yang gress. Pembeli yang sebagian besar adalah para pelajar SD hingga SMU biasanya lebih memilih buku bekas daripada yang masih baru. Hal ini disebabkan karena isi dan kualitas antara buku baru dan bekas tak jauh berbeda.”Kalau buku yang dicari ternyata ada yang bekas, pembeli biasanya memilih yang bekas, “ kata Suprihatin. Larisnya buku bekas bukan berarti menggeser keberadaan buku-buku baru. Toko buku “Sendang Sono” misalnya. Di kios seluas 5 x 6 meter persegi ini, penyediaan buku-buku baru, khususnya buku pelajaran sekolah bahkan mencapai 95% dari total buku yang dijual. Prosentase buku baru itu memang tak lepas dari keberadaan kios “Sendang Sono” sebagai penjual sekaligus penyalur buku. Tak heran nama sendang sono tak asing lagi bagi penjual di gondomanan maupun sentra buku lain seperti Terban atau shopping. *** Pendapatan yang dihasilkan pun bervariasi. Variasi ini disebabkan beberapa dari pedagang buku itu menjual komoditi lain. Misalnya saja Suprihatin. Selain menjual buku, ibu paruh baya ini juga menjual lukisan dan pigura. Pendapatan yang diperoleh dari lukisan dan pigura ini cukup besar. Keuntungan yang diperoleh dari pigura sendiri misalnya bisa dua kali lipat dari modal yang dikeluarkan. Dari diversifikasi itu, kadang Suprihatin memperoleh pemasukan sebesar tiga juta rupiah dalam satu bulan. “Tapi itu, kan, perlu proses, Mas. Meski untungnya banyak, tapi, kan, tidak langsung laku,” ujar perempuan yang juga ketua rukun tetangga di rumahnya, di Kelurahan Keparakan, Kecamatan Gondomanan, Yogyakarta. Sedang pada hari-hari biasa, pedagang yang hanya menjual buku, pendapatannya berkisar 30 hingga 50 ribu rupiah per hari. Meski omset yang berputar cukup besar, yaitu sekitar 300 hingga 500 ribu rupiah per hari, mereka hanya mendapatkan bagian kurang lebih 10 persen dari omset tersebut. Hasil itu diperoleh dari buku-buku yang statusnya titipan dari penyalur. Kawasan buku Gondomanan selama ini telah menjadi penghidupan bagi para pelakunya. Perputaran uang yang ada di kawasan ini dapat memberi masukan yang cukup, bahkan terkadang lebih. Apalagi saat tahun ajaran baru tiba, uang yang berputar di kawasan ini terbilang besar. Kios “Sendang Sono” misalnya. Dalam sehari kadang mampu mencapai angka enam juta rupiah. Namun, gairah pembelian buku seperti itu biasanya hanya berlangsung dua minggu. *** Ketika fenomena pembajakan buku begitu marak , ada tradisi menarik yang terus terjaga dari aktivitas para pedagang buku di Gondomanan. Mereka tidak turut menjual buku-buku bajakan. Suprihatin contohnya. Selama ini ia tidak mau menjual buku-buku bajakan, karena terlalu beresiko. Ibu tiga anak ini masih memegang petuah dari orang tuanya yang dulu juga menjadi penjual buku di Gondomanan. “Nek dodolan sing ati-ati, sing ngerti wae (kalau jualan itu hati-hati, yang tahu diri),” tutur Suprihatin menirukan perkataan bapaknya.(Alfred Sigit Pratomo) |
© 2003 UPM PASTI Universitas Atma Jaya Yogyakarta. |