|
Budaya |
Tradisi Suran, Pertobatan Diri, dan Nilai Keteladanan Sebuah pepatah mengatakan, gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan manusia mati meninggalkan nama. Begitulah kiranya pesan yang ingin disampaikan melalui tradisi Suran ini, bahwa tiap manusia (perlu) mewariskan nilai-nilai dan suri keteladanan, sehingga tercipta masyarakat yang peka juga bermoral. Syahdan, tersebutlah seorang bekel (pejabat pemerintah di masa kolonial, sejajar dengan lurah) bernama Cokro Joyo. Bekel itu memiliki seorang anak laki-laki bernama Asrah. Semasa kecil, polah Asrah dinilai nakal dan menyusahkan orangtuanya. Hal ini mendorong Cokro Joyo menitipkan anaknya tersebut pada salah seorang kerabatnya di daerah Duangan, yang kala itu menjabat sebagai demang (pejabat daerah di masa kolonial, sekarang setingkat camat). Maksudnya, agar Asrah mau mandiri dan belajar banyak pada demang tersebut. Cita-cita itu terwujud. Asrah tumbuh dewasa dan mengantongi nilai-nilai kebajikan. Pada akhirnya ia kemudian menjadi seorang demang juga dan memiliki nama Cokro Adi Kromo. Wilayah kekuasaannya meliputi daerah Demak Ijo hingga wilayah Nogotirto, Banyuraden, yang saat ini termasuk dalam kecamatan Gamping, kabupaten Sleman, Jogjakarta. Semasa hidupnya, Cokro Adi Kromo dikenal sebagai demang yang peduli pada masyarakat kecil yang membutuhkan pertolongan. Ia jarang menolak jika masyarakat meminta bantuannya. Selain itu, ia juga dikenal sebagai pemuka masalah adat yang memiliki kemampuan ‘lebih’. Masyarakat dan para keturunannya percaya bahwa kemampuan itu diperoleh karena semasa hidupnya, ki demang sering lelakon. Ia melakukan mati raga dan bertapa, bahkan selama 40 hari. Sunaryo, salah seorang warga yang mengaku keturunan ki demang bertutur, “Mbah demang hanya makan anyep. Makan anyep artinya tidak makan daging dan mengkonsumsi makanan yang tidak mengandung garam atau gula,” Dengan kemampuannya tersebut, ki demang menjaga ketentraman wilayahnya. Misalnya, dengan mengusir para penyamun yang hendak memasuki wilayahnya. Lelakon merupakan suatu aktivitas yang mesti dilakukan dengan tujuan memperoleh sesuatu. “Tujuan dari lelakon itu adalah untuk membersihkan diri, untuk menenangkan hati,” imbuh Sunaryo. Sosok demang Cokro Adi Kromo semasa hidupnya seringkali memberi sikap-sikap keteladanan bagi para trah atau keturunannya. Kharismanya begitu kuat. Meski ia telah mangkat, para trahnya yang saat ini telah berjumlah ratusan itu tetap setia melakukan ritual untuk mengenangnya. Upacara itu biasanya diselenggarakan tiap tanggal tujuh, malam delapan di bulan Suro (kalender Jawa). Pengenangan ki demang tersebut akhirnya dikenal sebagai tradisi Suran. Tradisi Suran ini awalnya dilakukan di desa Guyangan sehingga dikenal dengan nama Suran Guyangan. Namun karena ada pembaruan tata wilayah, namanya kini menjadi desa Modinan, yang termasuk di dalam wilayah Kelurahan Banyuraden, Kecamatan Gamping, Sleman, Yogyakarta. Dalam tradisi tersebut segenap masyarakat yang masih merupakan trah ki demang dari berbagai penjuru daerah berkumpul dan melaksanakan ritualnya. Pada tanggal tujuh Suro itu, para keturunan ki demang tersebut berkumpul di sebuah pendapa sedari sore. Mereka melakukan srokalan atau terbangan, seperti shalawatan dalam tradisi Islam, sambil diiringi alunan tetabuhan musik. Saat waktu menunjukkan pukul 24.00, tepatnya saat tanggal delapan, para trah itu berdiri bersama untuk melakukan padusan atau penyucian diri. Padusan ini merupakan bagian dan merupakan puncak dari upacara peringatan ki demang. Namun, sebelum pengambilan air atau padusan tersebut dilakukan terlebih dulu dilakukan ritual pengarakan beberapa peninggalan ki demang yang diwariskan pada keturunannya seperti keris atau tombak. Tujuannya pengarakan mengelilingi dusun tersebut sebagai tanda bagi masyarakat bahwa akan dilaksanakan prosesi padusan. Pada acara padusan, para trah dimulai dari yang paling sepuh (tua) hingga akhirnya yang termuda mandi dan membasuh dirinya di sebuah mata air. Ritual ini dimaknai sebagai sebuah upaya memohon pengampunan kepada Yang Kuasa, atas segala khilaf, yang telah dilakukan di masa lalu, entah secara batiniah ataupun ragawi. Sebagian keturunan dan masyarakat setempat juga masih meyakini, jika memanfaatkan air tersebut, baik untuk mandi atau minum, maka dirinya akan mendapatkan anugerah dari Yang Kuasa. Kepercayaan ini tak lepas dari masa lalu ketika ki demang menemukan sumber air ini di dekat rumahnya. Alkisah, kala itu, pada malam delapan Suro ki demang Cokro Adi Kromo sedang berjalan-jalan di sekitar kediamannya. Langit lalu menggelegar. Tanpa sengaja, ki demang menemukan sebuah mata air. Kemudian, ki demang memakainya untuk mandi. Pada saat itulah turun sebuah wahyu Tobat maring Allah pada ki demang. Oleh karena itu, air yang ada di sumber itu juga sering disebut sebagai air Tobat maring Allah. Keyakinan sebagian keturunan ki demang dan masyarakat bahwa air Tobat maring Allah tersebut mengandung berkah juga diperkuat dengan cerita yang muncul tentang pengalaman ki demang dengan air itu. “Saat itu ada orang sakit ingatannya. Lalu, ki demang memandikannya dengan air Tobat maring Allah. Tak lama, ingatan orang itu pulih lagi,” tutur Sunaryo. Lain halnya dengan Sumarliyah, warga desa Modinan. Ia lebih melihat keistimewaan sumber air itu dari sisi fisiknya. “Sejak saya lahir hingga saat ini, sumber air itu selalu jernih dan tidak pernah mengering. Meskipun kemarau panjang, ia tetap berair, tidak pernah surut,” ungkap perempuan yang mengaku sebagai trah ke empat dari keturunan ki demang itu. *** Dalam tradisi Suran ini, masyarakat yang mengaku sebagai trah ki demang dan masyarakat umum juga melakukan ritual lain. Mereka biasanya melakukan kunjungan ke makam ki demang untuk bersembahyang atau sekadar membersihkan makam. Bukan hanya itu, mereka pun mengunjungi makam, di mana benda-benda pusaka ki demang dikuburkan. Semasa hidup ki demang memang memiliki benda-benda pusaka, yang sebagian dikuburkan dan sebagian lain diwariskan kepada anak cucunya. Sebagian benda-benda peninggalan ki demang tersebut dikuburkan di desa Modinan, terpisah dari makam ki demang yang terdapat di Guyangan. Penguburan benda-benda tersebut memiliki arti tertentu. “Menurut orang tua dan eyang saya, tidak ada keturunan yang berani mewarisi atau diwarisi peninggalan mbah demang. Jadi, ya dikubur saja,” ungkap Supardjan, salah satu trah ki demang yang tinggal di Modinan. Ketidakberanian para trah ki demang tersebut mengandung makna tersendiri. Benda-benda peninggalan ki demang tersebut diyakini para trahnya didapatkan dengan lelakon yang tidak sederhana. Hal ini menimbulkan pandangan bahwa dalam pewarisannya pun memerlukan syarat-syarat yang tidak sederhana. Siswanto, salah seorang yang mengaku keturunan ki demang menuturkan, “Tidak ada yang berani mewarisi peninggalan ki demang karena tidak ada yang mampu. Kebanyakan orang sekarang hanya tidur nyenyak dan makan kenyang. Berbeda dengan kyai demang, dia kan pakai berpantang juga. Lantas, dia juga banyak bertapa.” Benda-benda ki demang yang dikuburkan tersebut misalnya saja seperti kitab Betaljemur Adamakno yang berisi mantra dan doa-doa. Selain itu, ada juga beberapa benda seperti keris, tombak dan benda pusaka lainnya. *** Tradisi Suran kini bukan hanya diperingati para keturunan ki demang saja. Masyarakat umum pun dapat ikut terlibat dalam acara ini. Terlebih, tradisi ini pun juga dijadikan sebagai salah satu aset budaya daerah. Hal Ini terlihat dengan keterlibatan Dinas Pariwisata Propinsi Daerah Istimewa Jogjakarta dalam tradisi itu sejak beberapa tahun yang lalu. Kerjasama dengan pihak pemerintah tersebut dilakukan untuk mencoba kembali menata tradisi itu agar menjadi tardisi yang terkemas apik dan menjadi budaya yang potensial tanpa mengubah esensinya sebagai peninggalan leluhur. Wujud kemasan itu terlihat dengan berbagai acara yang digelar masyrakat setempat dalam menjelang tradisi Suran ini. Misalnya saja dengan pagelaran pasar raya, keroncongan, campursari, dan tarian anak-anak. Beragam kegiatan tersebut biasanya berlangsung satu minggu sebelum tanggal delapan sura. Tempat yang sering diambil untuk mengadakan kegiatan itu adalah di pendapa desa, di mana lokasi padusan berada. Selain gelar budaya dan pasar seni, terdapat pula sebuah ritual yaitu udik-udik. Dalam ritual ini, kepada para pengunjung dibagikan kendi ijo, semacam bungkusan yang berisi nasi kuning dengan berbagai lauk-pauknya. Kebiasaan ini dulu sering dilakukan oleh ki demang semasa hidup kepada para pedagang kecil di wilayahnya. Dan sekarang kebiasaan itu diteruskan oleh para trahnya tiap tradisi Suran berlangsung. (Kristo D. Rato) |
© 2003 UPM PASTI
Universitas Atma Jaya Yogyakarta. |