|
Antara
Harapan dan Kenyataan
Menjadi
wakil rakyat tidak mudah. Banyak harapan yang digantungkan padanya. Lalu
bagaimanakah kenyataannya ?
Pesta demokrasi yang akan
dihadapi oleh bangsa Indonesia semakin dekat. Pembicaraan tentang pemilu itu
kemudian berkembang, tak hanya menjadi isu dalam media massa tetapi juga
diungkapkan dalam diskusi-diskusi kampus. Pembicaraan yang hangat tentang
pemilu menjadi suatu wacana yang tidak ada habisnya untuk selalu diulas.
Hal itu dikaitkan dengan jalannya roda pemerintahan. Begitu juga yang
dilakukan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UAJY bekerja
sama dengan Radio Republik Indonesia (RRI) Pro 3 FM dan Komisi Pemilihan
Umum (KPU) mengadakan diskusi dengan mengusung tema, “Anggota dewan, antara
harapan dan kenyataan”. Diskusi yang diadakan pada hari Rabu tanggal 28
Januari 2004 ini mengundang wakil ketua dewan, Drs. Choirudin, M.M. dan
ketua divisi informasi KPU D.I. Yogyakarta (DIY), Drs. Nadjib, M.Si
Membicarakan anggota dewan yang notabene merupakan
wakil rakyat, memang memunculkan banyak perdebatan. Apalagi bila ini
dikaitkan dengan kinerja yang sudah dilakukan. Anggota dewan dianggap belum
menjalankan fungsinya secara maksimal. “Contohnya adalah ketika di DPRD (Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah) sedang dalam proses penggodokan keputusan,
tiba-tiba ada surat peringatan dari partai tertentu yang bisa mempengaruhi
keputusan itu,” ujar Emmanuel Setowijaya, koordinator Kelompok
Profesi Pers UAJY. Menurut mahasiswa komunikasi angkatan 2002 ini permainan
seperti itu kurang tepat, dan tidak logis. Karena ketika suatu partai sudah
menempatkan wakilnya di pemerintahan, maka yang dijalankan bukan lagi untuk
kepentingan partai tapi untuk kepentingan rakyat keseluruhan.
Hal senada juga diungkapkan oleh Dina
Listiorini M.Si., dosen Ilmu Komunikasi UAJY. Menurutnya kondisi negara
kita berbeda dari Amerika yang bisa membedakan antara kepentingan partai
dan kepentingan negara. Dina yang juga menjadi pembicara dalam diskusi itu
mengungkapkan bahwa pembelaan John F. Kennedy terhadap partai politiknya
berakhir seiring dengan terpilihnya ia menjadi presiden Amerika Serikat. Hal
itu menunjukkan bahwa ada komitmen yang kuat untuk mengemban tugas secara
maksimal ketika seseorang menjabat sebagai wakil rakyat.
Tetapi berbeda keadaannya dengan di Indonesia. Menjabat
sebagai wakil rakyat dijadikan seolah-olah seperti lowongan pekerjaan.
Dengan demikian segala cara dilakukan untuk memperoleh jabatan itu. Fenomena
ini bisa dilihat dari animo yang besar untuk mendapatkan ijazah persamaan
yang sederajat dengan Sekolah Menengah Umum (SMU), sebagai salah satu syarat
untuk bisa menjadi anggota dewan. “Kalau menjadi wakil rakyat semata-mata
karena kekuasaan, maka jangan harap Indonesia akan memiliki sebuah
pemerintahan yang bersih,” ungkap dosen yang sudah menjadi pengajar di FISIP
sejak tahun 1995.
Kinerja anggota dewan memang menjadi sorotan utama menjelang
pelaksanaan pesta demokrasi yang akan dilaksanakan mulai bulan April
mendatang. Track record atas kinerja terdahulu seringkali dijadikan
pegangan dalam menyeleksi orang-orang yang akan menampung aspirasi rakyat.
“Pasca pemilu reformasi saya tidak melihat perubahan yang signifikan pada
negara kita,” ujar Dina Listiorini yang menyelesaikan S2 nya di Universitas
Indonesia. Ketika Indonesia sudah pernah mengalami pemilu pasca reformasi,
dan sampai sekarang tidak menunjukkan suatu kemajuan yang berarti maka hal
itu akan mempengaruhi tingkat kepercayaan pada pemerintah. Termasuk
kepercayaan pada pemerintahan mendatang. Apalagi bila ini dikaitkan dengan
pemilih tradisional yang tidak terpengaruh akan pembelajaran politik. Contoh
pembelajaran politik seperti tidak memilih politisi yang terlibat Korupsi
Kolusi dan Nepotisme (KKN), sepertinya tidak akan berpengaruh banyak pada
kelompok pemilih yang satu ini. Menurut Emmanuel Setowijaya yang akrab
dipanggil Seto ini mengungkapkan bahwa usaha pembelajaran yang dilakukan KPU
pada masyarakat akan tidak berarti apa-apa, ketika itu dibenturkan dengan
pemilih tradisional yang masih terpengaruh akan ikatan emosional pada salah
satu partai. Menurut Dra. Dwi Hernuningsih, sebagai senior manajer
divisi pemberitaan RRI Yogyakarta, mengatakan bahwa kondisi pemilih di
Indonesia mencerminkan akan kurangnya pendidikan berpolitik di Indonesia,
sehingga tak heran bila muncul pemilih tradisional yang masih mempunyai
ikatan primordialisme seperti itu.
Realitas sosial seperti itulah yang kemudian ingin coba
digali melalui diskusi yang diadakan di ruang sidang FISIP. Diskusi ini
merupakan salah satu bentuk kepedulian pada pemilu mendatang, sekaligus
menjadi sebuah ruang publik, di mana publik bisa menilai, memberi masukan
dan komentar. “Dengan adanya diskusi masuk kampus seperti itu sikap
mahasiswa dan kampus terhadap proses demokratisasi di negara kita, akan
terlihat,” ungkap Hernuningsih yang pernah mengikuti studi banding
pelaksanaan pemilu Swedia tahun 2002 lalu.
Tugas anggota dewan tidak ringan, pun begitu, banyak harapan yang
digantungkan padanya. “Harapan pada anggota dewan dari dulu selalu sama,
tinggal kita lihat implementasi dari itu semua dengan optimis,” ujar Dina
Listiorini menutup pembicaraan. (Rias Andriati)
|
|