.Koran Selembar. |
PASTIonline |
|||
Link lainnya :
|
Kopma UAJY, di antara Dua Pilihan
Pada awal Oktober 2003 lalu, Koperasi Mahasiswa Universitas Atma Jaya
Jogjakarta (Kopma UAJY) mengalami sebuah peristiwa yang cukup berarti
bagi perkembangannya ke depan. Bagaimana tidak, pihak universitas memberikan dua tawaran pada Unit Kegiatan
Mahasiswa (UKM) ini untuk tetap berada dibawah koordinasi dan tanggung
jawab universitas atau akan berdiri sendiri sebagai sebuah wadah yang
independen. Latar belakang yang mendorong munculnya tawaran tersebut salah satunya
menyangkut mengenai persoalan pertanggungjawaban Kopma selama ini.
Sejak terbentuk pada tahun 1997 hingga saat ini, Kopma tidak
menerapkan standar-standar yang
seharusnya diterapkan layaknya koperasi. “Selama ini Kopma tidak
pernah mengenakan simpanan wajib ataupun simpanan sukarela pada
anggotanya. Dari awal kita memang tidak memakai itu,” tutur Stefanus Willy, Ketua Kopma periode 2003/2004. Jadi, tidak adanya
penerapan standar tersebut telah dimulai sejak terbentuknya pengurus
yang pertama. Menanggapi
keberadaan Kopma tersebut, pihak universitas akhirnya mengajukan dua
tawaran bagi Kopma. “Jika
Kopma memilih untuk meneruskan statusnya sebagai UKM, maka marilah
kita sama-sama mulai membuat pencatatan atas standar-standar akutansi
yang benar. Misalnya saja dengan menetapkan simpanan wajib dan
sukarela serta kejelasan anggota,” ungkap Tonny Pongoh,SH.,LLM,
Pembantu Rektor (PR) III UAJY. Namun, apabila Kopma memilih untuk
menjadi badan usaha yang sifatnya mandiri, universitas pun akan
membantu persiapan tersebut dengan memberikan diklat berupa pembinaan
kewirausahaan pada KOPMA. Dalam menjawab tawaran tersebut, universitas memberikan tenggang waktu hingga akhir Desember 2003 ini. Menjadi hal yang berbeda bagi pengurus Kopma saat ini dalam menerima tawaran tersebut. Adanya dua tawaran itu memiliki konsekuensi yang tidak mudah. Saat Kopma harus memutuskan tetap berada di bawah koordinasi kampus atau tetap menjadi UKM, ada kesulitan tersendiri dalam geraknya. Kesulitan tersebut lebih disebabkan ketika Kopma harus memnsejajarkan diri dengan koperasi-koperasi lain yang ada di dalam kampus, yakni koperasi karyawan dan dosen, Caritas serta koperasi para alumni, Kamajaya. Misalnya saja dalam perjanjian tentang barang-barang yang dijual antara Kopma dengan koperasi Kamajaya. “Sewaktu dengan Kamajaya, kita sebenarnya sudah ada kesepakatan bahwa Kamajaya hanya akan menjual alat-alat tulis. Tapi pada kenyataannya mereka juga menjual makanan dan minuman,” ungkap Willy. Selain itu, secara finansial keberadaan dua koperasi selain Kopma tersebut juga lebih kuat karena adanya jangkauan pasar yang lebih bebas. Sementara bagi Kopma sendiri, untuk meluaskan jangkauannya, modal yang diberikan kampus selama ini masih sangat terbatas. “Budget Kopma itu sangat kecil jika dibandingkan dengan UKM-UKM yang lain, hanya 5 juta pertahun. Ini yang membuat kita kesulitan untuk bergerak,” Minimnya dana tersebut menjadi keterbatasan gerak Kopma yang selama ini hanya mengandalkan usahanya pada pengelolaan kantin di kampus III, yaitu pada usaha penjualan minuman. Di sisi lain, Kopma pun juga mempekerjakan 4 karyawan luar yang berarti harus ada penggajian rutin. Melihat
dari latar belakang tersebut, akhirnya Kopma lebih condong demi
melihat opsi yang kedua, yaitu menjadi badan yang mandiri. Pilihan ini
menurut Willy lebih memungkinkan Kopma bergerak lebih profesional.
Artinya, standar-standar koperasi seperti simpanan pokok, simpanan
wajib, dan sukarela lebih mungkin untuk diterapkan. Selain itu,
konsekuensi yang dihadapi Kopma dengan status tersebut adalah tentang
biaya sewa gedung (kantin) yang harus ditanggung. Untuk
mempersiapkan ke arah itu, saat ini Kopma sedang berbenah diri.
Rencananya, jika pilihan tersebut sudah mutlak, maka sosialisasi
status Kopma ini akan dilakukan pada bulan Januari 2004. Dalam pilihan tersebut, Willy berkaca pada koperasi-koperasi mahasiswa
yang lain. Misalnya saja dengan Kopma Universitas Gajah Mada.
Perkembangan Kopma UGM selama ini sangatlah maju jika dibandingkan
dengan Kopma UAJY. Menurut Willy, hal itu disebabkan karena ada
dukungan yang diberikan pihak universitas dalam pemberdayaan
koperasinya hingga dapat mandiri sepenuhnya. Misalnya saja dengan
pemberian proyek-proyek seperti pembuatan jaket almamater atau juga
kebutuhan-kebutuhan lain yang berkenaan dengan dunia akademik. Dari contoh tersebut menunjukkan bahwa pemberdayaan-pemberdayaan yang seharusnya diberikan dalam mengembangkan sebuah koperasi bukan hanya bersifat teori. Namun, adanya langkah nyata juga menjadi nilai penting sehingga pembelajaran tentang kemandirian tersebut benar-benar tercapai.(Nadia Nila Sari) |