- :; OpinI ;: -

OPINI

 

Y. Sri Susilo*


Karakteristik Bisnis Sektor Informal


- :: pasti.itgo.com ::-

Diskusi mengenai sektor informal dalam konteks negara yang mengalami kelebihan tenaga kerja (labor surplus), seperti Indonesia, memang menarik dan sudah menjadi materi diskusi yang "klasik". Materi diskusi tersebut dikatakan "klasik" karena masalah sektor informal sudah dibicarakan sejak dulu namun tetap up to date, relevan, dan kontekstual dengan kondisi saat ini. Di Indonesia sektor informal tumbuh dan berkembang sejalan dengan semakin terbatasnya kemampuan sektor formal menampung angkatan kerja. Sebagian dari angkatan kerja yang tidak tertampung sektor formal kemudian berwirausaha. Berbagai jenis dan bentuk usaha mereka lakukan. Kegiatan usaha mereka baik dalam produksi dan distribusi barang serta jasa. Sebagai contoh jenis usaha yang termasuk sektor informal antara pedagang kali lima (PKL), tukang becak, tukang sayur, bengkel skala kecil dan sebagainya. Tulisan singkat ini membahas karakteristik atau ciri dari binis sektor informal. Secara umum karakteristik bisnis sektor informal ditandai dengan: 

(1) bisnis dengan skala yang relatif kecil, dan (2) tidak berbadan hukum dan merupakan usaha atau bisnis individu. Secara khusus tulisan ini membahas karakteristik pedagang "klithikan" di Jl. Mangkubumi, dan warung "angkringan" di Jl. Alun-alun Selatan. Kedua jenis usaha tersebut menurut penulis termasuk ke dalam kategori bisnis sektor informal.

Berciri Khas

Bisnis "klithikan" di Jl. Mangkubumi berkembang sejak puncak krisis ekonomi pada tahun 1997– 998. Bisnis sejenis semula sudah ada di Alun-alun Selatan dan Jl. Pakuningratan. Kegiatan usaha di jalan tersebut dimulai pukul 18.00 WIB dan diakhiri pada pukul 21.00 WIB. Pada awalnya barang-barang yang diperdagangkan adalah barang-barang bekas, seperti pakaian, radio, tape recorder, onderdil sepeda motor, alat-alat rumah tangga dan sebagainya. Dalam perkembangannya, barang yang dijual tidak hanya barang bekas tetapi juga barang baru keluaran pabrik. Bahkan bisnis "klithikan" di Jl. Mangkubumi dari segi pengunjung lebih banyak dibandingkan bisnis sejenis di lokasi lain yang lebih dulu eksis.

Dari strategi bisnis, pada umumnya pedagang "klithikan" menerapkan prinsip "asal untung barang dijual/dilepas". Dalam hal ini para pedagang mengambil marjin profit yang kecil, namun modal dapat diputar dengan segera. Rata-rata mereka memperoleh keuntungan sebesar 10% - 25% dari harga beli barang. Ciri khas yang kedua adalah mereka sangat "welcome" terhadap pendatang baru (new-entrants). Para pedagang lama tidak takut disaingi oleh para pedagang yang baru beterjun dalam bisnis tersebut. Bahkan pedagang baru biasanya terjun karena diajak oleh pedagang lama. Diantara bisanya terdapat hubungan kekerabatan, seperti hubungan saudara atau tetangga dekat. Itu ciri khas yang ketiga. Selain itu, bisnis tersebut juga mempunyai efek pengganda ekonomi yang tidak kecil. Hal tersebut dapat dilihat dari aktivitas keramaian yang dimunculkan pada saat bisnis tersebut berlangsung.

Untuk pedagang warung "angkringan" atau ada yang menyebut "warung coboy" mempunyai karakteristik yang sedikit berbeda. Bisnis sangat kental dengan saling "kepercayaan" (trust) antara penjual, pembeli dan pemasok. Hal ini salah satunya ditunjukkan sebagian pembeli mempunyai hutang atau pembeli "ngebon" dahulu. Penulis sendiri mempunyai pengalaman jajan di warung angkringan dan pada saat membayar penulis baru sadar bahwa tidak membawa dompet atau uang. Mengetahui hal tersebut maka penjual menyarankan kepada penulis untuk membayar pada kesempatan yang mendatang saja. Padahal penulis baru pertama kali membeli di tempat tersebut dan belum kenal dengan penjualnya.

Karakteristik khusus yang lain adalah adanya "jaringan" di antara mereka. Setiap gerobak angkringan dioperasikan setidaknya oleh 2 orang. Masing-masing menjalankan bisnis selama 10–14 hari saling bergantian. Mereka biasanya berasal dari satu desa dan ada hubungan saudara. Pendatang baru dalam bisnis ini pada umumnya sebelumnya belajar pada pedagang yang sudah senior. Setelah beberapa lama kemudian baru terjun secara mandiri. Sifat kekeluargaan diantara pelaku bisnis "angkringan" juga sangat erat. Hal ini ditunjukkan dengan tempat tinggal mereka yang mengelompok di suatu tempat. Dalam satu kelompok setidaknya terdapat 5–10 pedagang. Dalam satu kelompok tersebut dipasok oleh satu juragan. Juragan ini memasok barang dagangan selain minuman dengan sistem konsinyasi. Seperti diketahui, dalam bisnis "angkringan" barang yang dijual adalah makanan dan minuman. Untuk minuman pedagang membuat atau menyediakan sendiri, sedangkan produk makanan dipasok oleh juragan tadi.

Bisnis ini pada umumnya dilakukan pada sore sampai malam atau dini hari, namun ada sebagian kecil yang beroperasi pada pada pagi sampai siang hari. Pendapatan kotor mereka sangat bervariasi. Jika barang dagangan habis, maka pendapatan mereka mencapai Rp 150.000,0 – Rp 250.000,00 per malam. Dari jumlah tersebut diperkirakan keuntungan bersih yang diperoleh sebesar Rp 30.000,00 – Rp 50.000,00. Selanjutnya bisnis ini menjadi "pelayan" yang baik bagi pelaku ekonomi atau masyarakat di sekitar lokasi berjualan. Bagi pedagang "angkringan" di Alun-alun Selatan, mereka akan melayani pembeli yang heterogen yang berasal dari daerah tersebut. Masyarakat yang dilayani antara lain: mahasiswa, penduduk sekitar, pelaku ekonomi, pelaku ekonomi lain di Alun-alun Selatan dan sebagainya.

Catatan Penutup

Belajar dari kedua kegiatan bisnis sektor informal tersebut, maka jelas bahwa sektor informal mempunyai kontribusi yang cukup signifikan. Dalam hal penyerapan tenaga kerja, kegiatan bisnis tersebut menciptakan wirausaha yang tangguh. Bisnis tersebut juga menciptakan pekerjaan sampingan bagi pedagang "angkringan" misalnya.

Sebagian besar pedagang angkringan secara formal merupakan petani atau buruh tani. Dengan demikian aktivitas bisnis "angkringan" merupakan non-farm activity bagi masyarakat desa. Dalam kondisi musim kemarau yang berkepanjangan ini, maka pekerjaan pedagang justru menjadi sumber utama pendapatan keluarga. Hal ini dikarenakan mereka belum dapat mengolah tanah di desanya yang sangat bergantung pada hujan.

* Staf Pengajar dan peneliti Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Home Next Page Profile Saran dan Kritik Isi Buku Tamu