Budaya

BUDAYA

 

Manggil Sumangat, Sebuah Upaya Penghargaan


Suku Dayak dan ritual adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Dalam ritual itu terkandung untaian makna. Dalam makna itu, kedekatan pada leluhur berusaha dijaga.


 

- :; pasti.itgo.com ;: - Dilarang mengambil bahkan memperbanyak foto di sini tanpa seizin UPM PASTI.

Manggil Sumangat : Pengembalian sumangat dilakukan bila terjadi pengeseran roh dari raganya.

Adalah Manggil Sumangat, yang mempunyai arti pengembalian roh manusia yang bergeser meninggalkan jasadnya. Dalam kepercayaan orang Dayak, manusia mempunyai sumangat. Sumangat dapat diartikan sebagai jiwa. “Jiwa bagi masyarakat Dayak adalah orang kedua setelah fisiknya. Jadi di dalam tubuh, terdapat dua unsur yaitu sebagai fisik dan sebagai roh” tutur Agustinus Alibata, peneliti masyarakat adat suku Dayak. Pengembalian sumangat dilakukan bila terjadi pergeseran roh dari raganya. Misalnya saja, jika seorang anak sakit demam setelah dipukuli oleh orang tuanya. Menurut kepercayaan masyarakat Dayak, pemukulan itu dapat menyebabkan ketidakseimbangan pada jiwa atau sering juga disebut non ekuilibirium.  

Pada upacara manggil sumangat, masyarakat Dayak menghamburkan beras kuning  Beras kuning ini merupakan beras yang dimasak dengan kunyit. Beras tersebut merupakan persyaratan dasar manggil sumangat. Ketika si anak memang dalam keadaan sakit, persyaratan dasar tersebut ditambahkan dengan ayam dan telur. Sedangkan bila keadaannya lebih parah lagi, persyaratannya ditambah dengan menggunakan beras ketan. Semua itu dipersembahkan untuk penghormatan pada nenek moyang, agar berkenan datang dan membantu menyembuhkan. Tidak hanya untuk anak yang sedang sakit saja, ritual ini digelar. Tapi juga untuk acara kematian. Pemanggilan sumangat pada orang yang meninggal harus dilaksanakan untuk memanggil sumangat keluarga yang masih hidup. Telah menjadi tradisi orang Dayak, setelah tujuh hari pemakaman harus diadakan pemisahan sumangat antara orang yang masih hidup dengan orang yang sudah meninggal. Pemisahan sumangat ini dilakukan agar sumangat orang yang sudah meninggal tidak mencoba membawa sumangat orang yang masih hidup di dunia.

Proses Manggil Sumangat pada orang yang sudah meninggal tak banyak berbeda dengan persyaratan yang dilakukan pada seorang anak yang sakit. Hanya saja syaratnya sedikit berbeda, yakni berupa ayam, beras ketan, atau biasa disebut pulut, beras, tuak, dan boneka dari tebu. Jumlah boneka disesuaikan dengan jumlah anggota keluarga. “Jika orang yang meninggal mempunyai anggota keluarga berjumlah delapan orang maka boneka yang dibuat juga sebanyak delapan buah. Kemudian dukun mulai melakukan ritual manggil sumangat, dan mencoba berhubungan langsung dengan roh nenek moyang,” ungkap Antonius Jhoni Van An, wakil ketua forum Himpunan Pelajar Mahasiswa Dayak Kapuas Hulu (HPMDKH). Setelah upacara selesai, tiap-tiap boneka diletakkan di kepala masing-masing. Tidak sembarangan boneka tebu itu diletakkan. Penempatan boneka dilakukan berdasarkan tingkat umur anak-anaknya. Boneka tebu yang berukuran paling kecil diletakkan diatas kepala anak dengan umur termuda. Setelah pembacaan mantra-mantra oleh dukun, boneka itu kemudian diletakkan diatas beras. Terakhir adalah pembuangan boneka tersebut ke belakang rumah. Dalam jangka waktu dua sampai tiga hari, tak ada seorang pun yang boleh menyentuh boneka itu. Boneka tebu itulah yang akan dibawa si mati ke alam baka.  

Dalam ritual ini, dukun atau balien mempunyai peran yang sangat penting. Sebenarnya tidak harus balien yang dapat memimpin jalannya upacara itu, keluarga atau orang yang mengerti tahapan-tahapan ritual sebenarnya juga dapat menggantikannya memimpin. Namun, balien menjadi sangat penting lebih karena pengalaman yang dimilikinya dalam pemanggilan roh. Jumlah dukun bergantung dari besar kecilnya upacara. Kalau ada upacara yang menggunakan lima sampai tujuh orang dukun, pasti itu adalah upacara yang besar. Tapi kalau upacara dipimpin oleh satu atau dua orang dukun, maka ritual itu biasanya tidak terlalu besar.  

- :; pasti.itgo.com ;: - Dilarang mengambil bahkan memperbanyak foto di sini tanpa seizin UPM PASTI.

Ritual : Upaya menghargai nenek moyang.

Manggil Sumangat biasanya dilaksanakan selama tiga hari tiga malam. Malam ke tiga adalah puncak acaranya. Pada malam itu diadakan pemisahan sumangat antara orang yang sudah meninggal dengan yang masih hidup. Pemisahan itu tidak sederhana dan cukup rumit. Seringkali Sumangat orang masih hidup tersangkut di alam gaib. Ketika Sumangat orang yang masih hidup tersebut dapat diambil, ia lalu dimasukkan dalam tempayan warna hitam yang diisi minyak. Di dalam tempayan tersebut terdapat batu kecil berwarna hitam yang dipercaya sebagai sumangat manusia. Tak hanya sampai disitu. Tempayan itu lalu dibawa oleh seorang gadis ke rumah betang untuk diikutkan dalam upacara ritual setelah pengambilan sumangat. Masyarakat Dayak mempercayai bahwa ketika tutup tempayan dibuka dan batu hitam itu sudah hilang, itulah pertanda bahwa sumangat orang yang masih hidup telah kembali.

Walaupun cara pandang masyarakat Indonesia sedikit banyak berkiblat ke arah rasionalisasi budaya barat tapi  kehidupan masyarakat suku Dayak tetap dipengaruhi oleh ritual semacam itu. Menurut Agustinus Alibata yang akrab dipanggil Alibata, selama ini masuk akal atau tidaknya pola pikir kita dipandang sesuai dengan epistemologi barat yang dianggap sebagai standar logika ilmiah. Padahal logika adat bukan berarti tidak ilmiah. “Ternyata pengetahuan lokal lebih mampu memperkuat ketahanan lingkungan hidup dibandingkan dengan epistemologi barat yang menggunakan implementasi teknologi.” tutur JC. Oefang Oeray, pembina Sekretariat Bersama Perkumpulan Mahasiswa Kalimantan Barat Yogyakarta. Melihat latar belakang itu, ketika segala ritual yang dilakukan orang Dayak, termasuk Manggil Sumangat ini punah sama saja pintu kehancuran bagi orang Dayak sendiri semakin terbuka lebar,” tambah Oefang.  

Manggil Sumangat yang masih sangat kental dengan nuansa mistis ini tidak memberi batasan umur tertentu bagi yang mengikutinya. Bagi masyarakat Dayak, terkhusus kaum mudanya, tidak ada lagi perasaan segan ketika ritual ini digelar.  “Pertama kali menjalankannya ada perasaan takut, gemetar. Apalagi ketika melihat balien itu berhubungan langsung dengan roh nenek moyang,” cerita Antonius yang sejak umur 10 tahun dilibatkan dalam ritual ini.  Masyarakat Dayak sangat menjunjung tinggi nenek moyangnya.. Nenek moyang dipercaya mempunyai peran yang sangat penting dalam kelancaran hidup masyarakat Dayak sehari-hari. Namun tak jarang pandangan seperti ini memunculkan stereotype bahwa orang Dayak masih mempercayai takhayul. “Stereotype itu disebabkan karena masyarakat kita sudah terbius oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan, serta agama. Sehingga orang Dayak dianggap sebagai orang kuno,” tutur Alibata.

 Pembina sanggar Sari Budaya Pontianak, A.F. Lasassoeka, SE menuturkan bahwa roh nenek moyang perlu dihargai melalui segala macam ritual terlebih karena bahwa bagaimanapun juga tanpa para nenek moyang itu, suku Dayak tidak akan pernah ada. “Secara fisik kami jauh, tapi batiniah, kami dekat...” imbuh Lasassoeka.(Rias Andriati)

Home Next Page Profile Saran dan Kritik Isi Buku Tamu