BUDAYA |
|||||||||
Manggil Sumangat, Sebuah Upaya Penghargaan Suku Dayak dan ritual adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Dalam ritual itu terkandung untaian makna. Dalam makna itu, kedekatan pada leluhur berusaha dijaga.
Pada
upacara manggil sumangat, masyarakat Dayak menghamburkan beras kuning Beras kuning ini merupakan beras yang dimasak dengan kunyit.
Beras tersebut merupakan persyaratan dasar manggil sumangat. Ketika si anak
memang dalam keadaan sakit, persyaratan dasar tersebut ditambahkan dengan
ayam dan telur. Sedangkan bila keadaannya lebih parah lagi, persyaratannya
ditambah dengan menggunakan beras ketan. Semua itu dipersembahkan untuk
penghormatan pada nenek moyang, agar berkenan datang dan membantu
menyembuhkan. Proses
Manggil Sumangat pada orang yang sudah meninggal tak banyak berbeda dengan
persyaratan yang dilakukan pada seorang anak yang sakit. Hanya saja syaratnya
sedikit berbeda, yakni berupa ayam, beras ketan, atau biasa disebut pulut,
beras, tuak, dan boneka dari tebu. Jumlah boneka disesuaikan dengan jumlah
anggota keluarga. “Jika orang yang meninggal mempunyai anggota keluarga
berjumlah delapan orang maka boneka yang dibuat juga sebanyak delapan buah.
Kemudian dukun mulai melakukan ritual manggil sumangat, dan mencoba
berhubungan langsung dengan roh nenek moyang,” ungkap Antonius Jhoni
Van An, wakil ketua forum Himpunan Pelajar Mahasiswa Dayak Kapuas Hulu
(HPMDKH).
Manggil
Sumangat biasanya dilaksanakan selama tiga hari tiga malam. Malam ke tiga
adalah puncak acaranya. Pada malam itu diadakan pemisahan sumangat antara
orang yang sudah meninggal dengan yang masih hidup. Pemisahan itu tidak
sederhana dan cukup rumit. Seringkali Sumangat orang masih hidup tersangkut
di alam gaib. Ketika Sumangat orang yang masih hidup tersebut dapat diambil,
ia lalu dimasukkan dalam tempayan warna hitam yang diisi minyak. Di dalam
tempayan tersebut terdapat batu kecil berwarna hitam yang dipercaya sebagai
sumangat manusia. Walaupun
cara pandang masyarakat Indonesia sedikit banyak berkiblat ke arah
rasionalisasi budaya barat tapi kehidupan
masyarakat suku Dayak tetap dipengaruhi oleh ritual semacam itu. Menurut
Agustinus Alibata yang akrab dipanggil Alibata, selama ini masuk akal atau
tidaknya pola pikir kita dipandang sesuai dengan epistemologi barat yang
dianggap sebagai standar logika ilmiah. Padahal logika adat bukan berarti
tidak ilmiah. “Ternyata pengetahuan lokal lebih mampu memperkuat ketahanan
lingkungan hidup dibandingkan dengan epistemologi barat yang menggunakan
implementasi teknologi.” tutur JC. Oefang Oeray, pembina Sekretariat
Bersama Perkumpulan Mahasiswa Kalimantan Barat Yogyakarta. Melihat latar
belakang itu, ketika segala ritual yang dilakukan orang Dayak, termasuk
Manggil Sumangat ini punah sama saja pintu kehancuran bagi orang Dayak
sendiri semakin terbuka lebar,” tambah Oefang. Manggil Sumangat yang masih sangat kental
dengan nuansa mistis ini tidak memberi batasan umur tertentu bagi yang
mengikutinya. Bagi masyarakat Dayak, terkhusus kaum mudanya, tidak ada lagi
perasaan segan ketika ritual ini digelar.
“Pertama kali menjalankannya ada perasaan takut, gemetar. Apalagi
ketika melihat balien itu berhubungan langsung dengan roh nenek moyang,”
cerita Antonius yang sejak umur 10 tahun dilibatkan dalam ritual ini. Pembina sanggar Sari Budaya Pontianak, A.F. Lasassoeka, SE menuturkan bahwa roh nenek moyang perlu dihargai melalui segala macam ritual terlebih karena bahwa bagaimanapun juga tanpa para nenek moyang itu, suku Dayak tidak akan pernah ada. “Secara fisik kami jauh, tapi batiniah, kami dekat...” imbuh Lasassoeka.(Rias Andriati)
|